Memori W.R. Soepratman Dikeroyok Sinyo-Sinyo Belanda Rasis
Penggubah Lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman bersama adik-adiknya. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kehidupan Wage Rudolf (W.R.) Soepratman serba kecukupan. Ia mampu mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Eropa, Europeesche Lagere School (ELS) Makassar. Kesempatan itu tak disia-siakan Soepratman.

Namun, ia kerap diperlakukan tak manusiawi oleh sinyo Belanda. Mereka sering bertindak rasis. Soepratman dianggap rendah. Kadang kala sentimen itu membuatnya dikeroyok sinyo-sinyo rasis. Ia kemudian membalasnya dengan perjuangan melawan penjajah Belanda lewat pena dan biola.

Kehidupan segenap kaum bumiputra di masa penjajahan Belanda tak baik-baik saja. Mereka harus berjuang supaya bisa dapat bertahan hidup sehari-hari. Alih-alih pergi berpesta, berpergian antara satu tempat ke tempat baru saja susahnya bukan main.

Istimewanya hal itu tak terjadi pada kehidupan Soepratman kecil di Batavia (kini: Jakarta). Ayahnya, Djoemeno Senen Sastrosoehardjo memiliki pekerjaan mentereng. Ia berprofesi sebagai Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).

Pekerjaan itu mampu mencukupi seluruh kebutuhan anaknya. Keinginan Soepratman selalu dikabulkan. Semuanya tak lantas berubah ketika ayahnya pensiun dan ibunya meninggal dunia saat ia masih kecil. Ayahnya tak lantas lepas tangan. Ia ingin Soepratman terus melanjutkan sekolah.

 Penggubah Lagu Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman. (Wikimedia Commons)

Kakaknya, Roekijem Soepratijah beserta suaminya, Willem van Eldik diberi amanat untuk mendidik dan menyekolahkan Soepratman di Makassar. Kepindahan Soepratman ke Makassar tak menyurutkan minatnya terhadap seni.

Suami kakaknya mampu memberikan pengetahuan terkait alat musik dan cara memainkannya kepada Soepratman. Dari nol hingga mahir. Soeratman pun tak melulu dibekali dengan pengetahuan musik yang membuni, Van Eldik juga menjalankan amanat ayah Soepratman untuk menyekolahkannya di Sekolah Dasar Eropa, ELS Makassar.  

“Setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, Soepratman mengikuti kakak perempuannya yang sulung yang tinggal di kota Makassar. Kakaknya itu mengikuti suaminya Willem van Eldik, seorang Indo-Belanda yang bekerja sebagai Instruktur Batalion XIX di kota itu. Suami-istri van Eldik mengambil Soepratman sebagai anak angkatnya dan memasukkannya ke ELS (Europesche Lager School), Sekolah Dasar Belanda.”

“Sebelum dimasukkan ke sekolah itu, Soepratman yang dilahirkan di Dukuh Trembelang, wilayah Desa Semogiri, Purworejo, harus "dipersamakan" (gelijkgesteld) dengan menambahkan ‘Rudolf’ pada namanya. Nama lengkapnya menjadi Wage Rudolf Soepratman,” ujar J.B. Sudarmanto dalam buku Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia (2007).

Perundungan Terjadi

Sekolah di ELS adalah kesempatan besar dalam hidup Soepratman. Ia disatukan dalam kelas yang berisi keturunan Eropa (sinyo), keturunan timur asing, dan kaum bumiputra dari tokoh terkemuka. Ia tak sulit menyesuaikan diri. Soepratman dapat menjalankan pendidikan dengan baik.

Satu-satunya hal yang menjadi masalah adalah perundungan. Ia kerap mendapatkan perundungan dari sinyo-sinyo Belanda. Verbal maupun non-verbal. Sederet keturunan Belanda itu merasa kaum bumiputra seperti Soepratman tak pantas bersekolah.

Rasisme itu membuat darah Soepratman mendidih. Sekolah adalah hak. Ia ingin membalas perlakuan Sinyo-sinyo rasis. Apalah daya, pertarungan itu kerap berakhir dengan Soepratman dikeroyok.

Alhasil, Perlakuan itu terus membekas dibenak Soepratman. Apalagi, perlakuan rasis tak cuma diarahkan kepadanya, tapi kepada seluruh kaum bumiputra. Di mana ada kaum bumiputra yang mengenyam pendidikan dan berlagak seperti orang Eropa, niscaya akan dirundung.

Pertitur lagu Indonesia Raya gubahan Wage Rudolf Supratman. (Wikimedia Commons)

Sekalipun begitu, ia mampu lulus dengan nilai rata-rata yang memuaskan pada 1917. Ia melanjutkan pendidikannya ke Normaal School (Sekolah Guru). Akhirnya, ia mulai mendalami politik dan musik saat pindah dari Makassar ke Bandung, lalu Batavia. Ia pun mengabadikan diri sebagai jurnalis yang aktif dalam tiap diskusi pejuang kemerdekaan.

Kemudian, Soepratman menggunakan pena dan biolanya untuk mengawal jalannya Kemerdekaan Indonesia. Ia pun menggubah sebuah lagu perjuangan Indonesia Raya pada momentum Sumpah Pemuda – lagu itu kemudian dikenal sebagai Lagu Kebangsaan.        

“W.R. Soepratman masih ingat betul betapa sakit dirasakannya, ketika ia dihina dan dikeluarkan dari sekolah Belanda ELS dulu. Masih terbayang saat ia dikeroyok oleh sinyo-sinyo Belanda, dipukuli, diejek vuile inlander (pribumi kotor) dan banyak lagi.”

 “Semua ini memberi inspirasi baginya untuk mengkritik lebih hebat di surat kabar. Sebagai wartawan muda, W.R. Soepratman suka menghadiri rapat-rapat. Ia memiliki sifat ramah, jujur, dan murah hati, suka bergaul, suka berkawan dan suka berdebat soal-soal politik,” ungkap Anthony C. Hutabarat dalam buku Meluruskan sejarah dan riwayat hidup Wage Rudolf Soepratman (2001).