JAKARTA - Perang yang digelorakan Jepang menghadirkan suasana mencekam di Hindia Belanda (kini: Indonesia). Seisi Nusantara panik bukan main. Pemerintah kolonial Hindia Belanda, apalagi. Empunya kuasa mencoba menjauhkan sederet pejuang kemerdekaan supaya tak dimanfaatkan Jepang.
Bung Karno, misalnya. Ia ingin dilarikan ke Australia lewat Padang. Niatan itu nyatanya gagal total. Bung Karno tetap tinggal di rumah singgahnya di Padang. Sedang Belanda sendiri kelimpungan menyelamatkan kuasanya.
Nyali Jepang menguasai Hindia Belanda tiada dua. Keunggulan armada dan pasukan ada di baliknya. Jepang ingin berlagak laksana juru selamat Asia. Niatan itu diwujudkan dengan keberanian Jepang melumpuhkan berbagai wilayah Nusantara dengan terukur pada 1942. Dari Tarakan hingga Palembang.
Dinamika perang perebutan kuasa itu membuat seisi Nusantara mencekam. Tiada yang tak cemas dengan kondisi perang yang sewaktu-waktu dapat berkecamuk. Alih-alih hanya penjajah Belanda, Risiko rakyat Hindia Belanda kehilangan harta benda dan keluarga meninggi.
Berita penyerangan Jepang pun sampai ke Bengkulu. Narasi Bengkulu akan dibombardir Jepang muncul di mana-mana. Seisi Bengkulu diminta untuk segera mengungsi atau menggali tanah sebagai tempat berlindung, jika sewaktu-waktu Jepang menyerang.
Soekarno dan Fatmawati (kemudian jadi istri Soekarno) merasakan paniknya kala itu. Keduanya menyaksikan sendiri bagaimana perang membuat Bengkulu bak lautan api. Sirene peringatan serangan udara menggelagar.
Semua orang yang berada di Bengkulu diminta untuk menyelamatkan diri. Soekarno dan Fatmawati apalagi. Keduanya pun berpisah. Soekarno dibawa lari polisi ke Padang. Sedang Fatmawati tetap berada di Bengkulu.
“Aku berdoa agar Bung Karno diberi kekuatan dan keselamatan. Kepergian Bung Karno di malam gelap gulita menjadi teka-teki yang mengkhawatirkan bagiku. Dan di kemudian hari baru aku mengetahui bahwa malam itu Bung Karno dibawa lari ke Padang oleh Belanda, dengan tujuan agar Bung Karno jangan ketemu dengan Jepang atau sampai lepas dari tangan mereka.”
“Dan jangan sampai Jepang mengambil keuntungan dari hal itu. Entah sebagai tahanan ia diberi izin oleh penguasa Belanda untuk menjenguk keluargaku dan teman-temannya yang lain aku kurang tahu. Tapi pada saat-saat yang gawat itu Bung Karno sengaja datang menjumpaiku untuk pamitan,” ungkap Fatmawati dalam dalam buku Catatan kecil Bersama Bung Karno (2016).
Mengungsi ke Padang
Perang berkecamuk itu membuat Belanda mencoba mengamankan Bung Karno ke Australia lewat Padang. Opsi itu diambil Belanda supaya Bung karno tak diajak bekerja sama dengan Jepang. Apalagi Bung Karno dikenal sebagai orator ulung yang memiliki pengaruh besar.
Bung Karno dan keluarganya tak memiliki banyak waktu untuk berkemas. Pun ia hanya dibolehkan membawa dua kopor. Mereka langsung dibawa menuju Padang oleh enam orang polisi bersenjata. Malang tak dapat ditolak. Perjalanan menuju Padang tak mudah. Ancaman serangan dari serdadu Jepang ada di mana-mana.
Polisi yang yang membawa Bung Karno pun memilih untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Masuk hutan jadi satu-satunya opsi masuk akal untuk aman dari tentara Jepang. Akan tetapi, waktu tempuh jadi molor berhari-hari.
Perjalanan itu dirasa Bung Karno cukup sulit. Ia khawatir dengan kesehatan istrinya, Inggit Garnasih. Namun, ia pun menguatkan istrinya. Masuk hutan, menyebrangi sungai, hingga makan seadanya. Kondisi itu berlangsung selama beberapa hari.
Akhirnya mereka sampai ke Padang. Namun, rencana Belanda yang ingin membawa Soekarno ke Australia amburadul. Jepang justru lebih dulu menguasai Padang. Belanda kemudian lebih memilih untuk menyelamatkan diri dibanding sibuk membawa Soekarno.
Fakta itu membuat Soekarno terpaksa tinggal di sebuah rumah singgah di Padang berbulan-bulan. Sebuah rumah yang dicarikan oleh sahabatnya, Waworuntu. Bung Karno menempati rumah hingga kekuasaan Belanda secara resmi direbut Jepang. Setelahnya, Bung karno dibawa Jepang ke Batavia untuk berkolaborasi.
“Waworuntu menyambutku dengan tangan terbuka. Dia memelukku: Soekarno, saudaraku. Dia berteriak dan air mata mengalir ke pipinya. Saya mendapat rumah bagus disini dan banyak kamarnya, tapi saya sendirian saja. Isteri saya dan anak-anak diungsikan dan tidak ada orang tinggal dengan saya. Bawalah keluarga Bung Karno kesini. Bawalah ke sini dan anggaplah ini rumah Bung sendiri.”
“Orang yang baik hati ini dengan kemauannya sendiri pindah dari kamar-tidurnya yang besar di depan di sebelah ruang tamu, dan mengosongkannya untuk Inggit dan aku. Ini terjadi beberapa hari sebelum bala tentara Kerajaan Dai Nippon menduduki Padang. Ketika aku berjalan-jalan di sepanjang jalan aku menyadari, bahwa saudara-saudaraku yang terlantar, lemah, tidak mendapat perlindungan perlu dikumpulkan,” cerita Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2016).