Janji Beri Kemerdekaan Indonesia: Penjajah Jepang Izinkan Bendera Merah Putih Berkibar
Pengibaran Bendera Merah Putih saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kisah seputar kemerdekaan Indonesia penuh cerita. Kedatangan Jepang, misalnya. kehadiran Jepang disambut dengan gegap gempita. Keberanian Jepang memutus mata rantai penjajahan Belanda jadi muaranya.

Kaum bumiputra pun mulai berani mengibarkan Bendera Merah Putih. Lantunan Indonesia Raya apalagi. Euforia itu hanya bertahan sesaat. Watak asli Jepang keluar. Mereka melarang pengibaran Bendara Indonesia. Belakangan Belanda mengalah. Pengibaran Bendera Merah Putih diizinkan kembali.

Kemunculan Jepang sebagai kekuatan besar membawa kehebohan di seluruh pelosok dunia. Jepang seakaan harapan baru kalangan rakyat Asia. Kaum bumiputra pun percaya hal itu. Kepercayaan kaum bumiputra beralasan. Tindak-tanduk Jepang menumpas kekuasaan Belanda dan antek-anteknya di Nusantara jadi bukti.

Tentara Belanda tak kuasa menghadapi superiornya angkatan militer Jepang. Siasat pun dilakukan Jepang untuk mengambil hati. Jepang memperlakukan orang Belanda lebih rendah dari binatang. Orang Belanda kala itu dibuat menempati kasta terendah. Perlakuaan itu dianggap sebagai imbas telah memperlakukan kaum bumiputra dengan semena-mena.

Perlakuan Jepang terhadap Belanda mendapatkan dukungan dari segenap kaum bumiputra. Mereka menyambut kedatangan Jepang dengan gegap gempita. Bendera Merah Putih pun dikibarkan di tiap sudut jalan. Lagu Indonesia Raya bahkan tak henti-hentinya berkumandang di udara.

Tentara Jepang di Indonesia. (Japan Photo Library)

Namun, belakangan Jepang mempermasalahkan. Satu-satunya bendera yang boleh berkibar adalah bendera Jepang: Hinomaru. Sedang satu-satunya lagu kebangsaan yang boleh diputar tak lain: Kimigayo. Segenap kaum bumiputra pun menyayangkan tindakan Jepang. Soekarno, terutama.

“Ketika tentara Jepang datang, Padang mengibarkan bendera Merah Putih. Rakyat menyangka mereka ‘dibebaskan.’ Setelah berabad‐abad larangan, sungguh menggetarkan hati menyaksikan bendera kami Sang Merah Putih yang suci itu melambai‐lambai dengan megahnya. Akan tetapi tidak lama, segera keluar pengumuman yang ditempelkan di pohon‐pohon dan di depan toko‐toko, bahwa hanyalah bendera Matahari Terbit yang boleh dikibarkan.”

“Serentak dengan kejadian ini, yang terasa sebagai suatu tamparan, Jepang menguasai surat‐surat kabar. ‘Pembebasan’ kota Padang tidak lama umurnya. Aku pergi ke kantor Kapten Sakaguchi dan minta agar perintah penurunan bendera itu diundurkan. Perintah ini sangat berat untuk kami terima dan akan mempersulit keadaan, kataku. Kalau tidak dilakukan secara sebijaksana mungkin hal ini dapat memberi akibat yang serius untuk kedua belah pihak,” terang Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Bendera Merah Putih Berkibar

Pemerintahan Negeri Matahari Terbit memang tak lebih baik dari Belanda. Keduanya sama sama menyengsarakan rakyat Indonesia. Ada pun perbedaan yang mencolok keduanya tak lain dari kontrol penguasa terhadap pergerakan nasional.

Di zaman Belanda, pergerakan kaum bumiputra cenderung sulit berkembang. Agenda-agenda pergerakan yang membawa narasi kemerdekaan Indonesia dilarang Belanda. Bila melawan, hukuman penjara dan pengasingan menanti.

Beda hal dengan masa Jepang. Pergerakan nasional tak banyak diurus. Pengawasan yang kurang itu membuat narasi kemerdekaan Indonesia muncul ke permukaan. Bahkan, mampu memunculkan kesadaran secara besar-besaran untuk menuntut kemerdekaan.

Apalagi ketika kekuatan Jepang dalam Perang Dunia II mulai melemah pada 1944. Masalah itu memaksa Jepang untuk menarik simpati segenap kaum bumiputra. Supaya tindak-tanduk Jepang dalam perang tetap mendapatkan dukungan.

Pengibaran Bendera Merah Putih saat kemerdekaan Indonesia. (Wikimedia Commons)

Puncaknya, Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Sebagai bentuk keseriusan. Kaum bumiputra mulai diizinkan kembali mengibarkan Bendera Merah Putih. Lebih lagi, lagu kebangsaan Indonesia Raya bebas diputar tanpa adanya larangan.

Keringanan dari Jepang laksana bahan bakar perjuangan. Narasi kemerdekaan Indonesia pun mulai diulas dari mimbar ke mimbar di seluruh pelosok negeri. Semuanya dilakukan murni membahas kemerdekaan Indonesia tanpa embel-embel harus pro Jepang segala, seperti awal-awal kuasanya di Nusantara.

“Pembuatan bendera merah putih yang besar itu pada awalnya permintaan Shimizu, seorang perwira Jepang yang menjabat sebagai kepala barisan propaganda di Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Sumatra).”

“Permintaan itu sesuai janji kemerdekaan yang telah dinyatakan Jepang secara terbuka pada September 1944. Sesuai janji itu rakyat diberi izin mengibarkan bendera merah putih berdampingan dengan bendera Jepang pada hari-hari besar,” kata Kukuh Pamuji dalam buku Menyelisik Museum Istana Kepresidenan Jakarta (2020).