Bagikan:

JAKARTA - Kemerdekaan Indonesia adalah harga mati. Itulah yang dipatri dalam setiap sanubari pejuang kemerdekaan. Mohammad Hatta, salah satunya. Bahkan, Hatta sampai mengeluarkan sumpah tak akan menikah sampai Indonesia merdeka.

Hatta lelaki sejati. Ia pun membuktikan ikrarnya. Waktunya diwakafkan untuk belajar dan berjuang. Ia pun mengakhiri sumpahnya ketika Indonesia merdeka secara paripurna. Tiga bulan setelah kemerdekaan Indonesia, ia meminang pujaan hatinya Rahmi Rachim.

Bung Hatta senang bukan main lulus dari Sekolah Dagang, Prins Hendrikschool (PHS) Batavia. Jalannya membangun karier di Hindia Belanda jadi terbuka lebar. Gajinya diprediksi akan tinggi pula. Namun, Hatta tak lantas berpuas diri.

Alih-alih ingin mendapatkan gaji tinggi, Bung Hatta justru ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Negeri Belanda jadi tujuannya. Mimpi itu semakin menjadi-jadi karena salah satu gurunya di PHS, Dr. De Kock mendukung langkah Hatta.

De Kock mengingatkan Hatta jangan terlalu terbuai dengan gaji besar. Apalagi Hatta masih muda. Jabatan dan harta sifatnya tak kekal. Sedang pengetahuan abadi.

Bung Hatta saat menikahi Rahmi Rachim atau yang akrab disapa Yuke dalam acara sederhana di Bogor pada 18 NOvember 1945. (Wikimedia Commons)

Keinginan Bung Hatta melanjutkan pendidikan disambut baik oleh keluarganya. Semua mendukung langkahnya. Beasiswa pun dicari Hatta sebagai pegangan hidup dan belajar di Negeri Belanda. Pucuk dicinta ulam tiba. Hatta berangkat ke Belanda.

Di Belanda, Hatta kuliah di Handels Hoogere School, yaitu sebuah sekolah tinggi ekonomi di Rotterdam. Dia mengambil jurusan ekonomi perdagangan. Masa-masa kuliah itu adalah Hatta diliputi keinginan kuat untuk memerdekan bangsa.

Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia (kemudian bersalin nama menjadi Perhimpunan Indonesia) jadi kendaraan politiknya. Ia tak memikirkan lain hal. Selain belajar dan berpolitik. Demi perjuangan untuk merdeka, Hatta pun semakin memantapkan sumpah untuk tidak menikah sebelum Indonesia lepas dari belenggu penjajahan.

“Sesungguhnya titik berat dari pada perjuangan kita ialah menghancurkan imperialisme Belanda, kita tidak boleh melupakan sekejap mata, bahwa perjuangan kita bersangkut-paut dengan masalah Pasifik. Terletak pada pinggir lautan besar lautan besar yang sekarang disebut Pasifik, negeri mau tak mau akan tertarik ke dalam drama yang akan datang.”

“Kita tahu, bahwa drama-drama itu adalah putusan terakhir daripada pertentangan ras. Propaganda luar negeri kita sebagai sebagai satu bagian penting daripada perjuangan politik kita, tujuannya hendaklah persatuan bangsa-bangsa timur. Semakin tajam pertentangan ras, semakin dekat kita pada pertentangan penghabisan,” ungkap Bung Hatta dalam buku Mohammad Hatta: Memoir (1979).

Menikah Setelah Merdeka

Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Tunai sudah ikrar Bung Hatta. Ia pun mulai memikirkan masalah jodoh. Rekan-rekan seperjuannya Hatta pun turut menawarkan bantuan mencarikannya jodoh.

Istri Soekarno, Fatmawati pun mengungkap suaminya yang menjadi mak comblang Bung Hatta. Bung Karno melihat Hatta memiliki ketertarikan kepada anak teman dekatnya: Abdul Rachim. Ia pun berinsiatif menjodohkan Hatta dengan Rahmi Rachim.

Namun, versi Fatmawati dianggap kurang tepat oleh Rahmi Rachim sendiri. Dalam beberapa kesempatan,wanita yang akrab disapa Yuke menyebut ia dan Bung Hatta sudah intens saling bertukar surat sebelumnya. Karenanya, Bung Karno, hanya menjadi ‘penyambung lidah’ alias kurir surat Bung Hatta kepada Yuke.

Meski begitu, kedua versi itu sama-sama menegaskan Bung Karno memilih peran sentral yang mendekatkan Bung Hatta kepada calon istrinya. Orang tua Yuke menyetujui Bung Hatta sebagai calon mantunya. Pun Yuke merasa Bung Hatta adalah jodoh yang tepat.

Bung Hatta menikahi Rahmi Rachim dengan mas kawin berupa buku karangannya berjudul Alam Pikiran Yunani. (Wikimedia Commons)

Keduanya pun menikah secara sederhana nan penuh khidmat pada 18 November 1945, di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Bung Hatta pun menjadikan buku yang ditulisnya selama diasingkan di Digoel, kemudian Banda Neira sebagai mas kawin. Buku itu adalah Alam Pikiran Yunani.

“Nasihat itu dijalankan oleh ayah saat menuntut ilmu hingga ke daratan Eropa, kemudian kemudian dalam masa pengasingannya. Ini menjelaskan mengapa Digoel adalah a home away from home bagi ayah. Sebuah tempat tinggal yang jauh dari rumah, tetapi ini adalah juga rumah untuk menjalankan misi perjuangan sehingga ketika ia hidup dengan komunitas sesama para tawanan di Digoel.”

“Ayah membangkitkan semangat hidup masyarakat dengan belajar bersama dan berolahraga. Kepada sesama tawanan dan keluarganya. Ayah berbagi ilmu. Dalam kesendiriannya, ayah menulis karangan tentang filosofi, yang kelak kumpulan karangan itu diberi judul Alam Pikiran Yunani, dan menjadi mas kawin ayah kepada ibu ketika mereka menikah pada tanggal 18 November 1945,” ujar anak-anak Bung Hatta, Meutia, Gemala, dan Halida dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2015).