Bagikan:

JAKARTA - Kemerdekaan Indonesia adalah usaha kolektif para pejuang kemerdekaan. Golongan muda dan golongan tua berjuang bersama untuk mewujudkannya. Demikian pula saat perumusan naskah proklamasi.

Rumah Laksamana Maeda jadi lokasi rendezvousnya. Naskah ringkas proklamasi kemerdekaan pun digarap. Hatta menyusun dengan cara mendikte. Sedang Bung Karno menuliskan teks proklamasi. Semuanya yang hadir sepakat yang menandatangani hanya Soekarno-Hatta. Apa alasannya?

Perjuangan Indonesia meraih kemerdekaan adalah hal yang tak sebentar. Waktu, tenaga, uang, pikiran, dan nyawa didedikasikan untuk satu tujuan: merdeka. Boleh jadi Jepang sempat menjanjikan Indonesia kemerdekaan. Janji itu sempat menjadi secerah harapan.

Namun, pejuang kemerdekaan memilih untuk memerdekakan bangsanya sendirinya. Segenap golongan muda dan golongan tua memilih merumuskan acara proklamasi kemerdekaan Indonesia di rumah petinggi angkatan laut Jepang, Laksamana Maeda pada 16 Agustus 1945. Ia sosok yang dianggap pro kemerdekaan. Maeda pun membuka pintunya untuk pejuang kemerdekaan.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. (Wikimedia Commons)

Perumusan naskah proklamasi jadi agenda utama pertemuan. Panitia kecil pun diperkenankan untuk menyusunnya. Antara lain: Soekarno, Hatta, Soebardjo, dan Sayuti Melik. Soekarno segera meminta Hatta untuk merumuskan naskah proklamasi yang lebih ringkas.

Bung Besar berpendapat dari semuanya yang hadir, Hatta dianggap memiliki tata bahasa yang baik. Hatta menyetujuinya. Akan tetapi ia mengajukan syarat. Ia akan mendikte rumusan. Sedang Bung Karno menuliskannya. Tiada perdebatan alot. Narasi yang didengungkan Hatta disetujui dengan segera.

“Soekarno memulai membuka sidang dan membacakan rumus pernyataan kemerdekaan yang dibuat tadi, perlahan-lahan dan berulang-ulang. Sesudah itu ia bertanya kepada yang hadir, dapatkah ini saudara-saudara setujui? Gemuruh suara mengatakan setuju.”

“Diulang oleh Soekarno: benar saudara semuanya setuju? Setuju kata yang hadir semuanya. Kukira tidak ada yang tidak setuju,” kenang Bung Hatta dalam bukunya Mohammad Hatta: Memoir (1979).

Soekarno mengungkap naskah prokalamasi kemerdekaan Indonesia adalah dokumen bersejarah. Dokumen itu dijadikan sebagai pengingat anak cucu akan perjuangan bangsa untuk merdeka. Soekarno pun meminta semuanya yang hadir untuk menandatangani naskah proklamasi kemerdekaan.

Penandatanganan itu dianggapnya serupa dengan naskah proklamasi Amerika Serikat. Namun, pejuang kemerdekaan lainnya sepakat tampil beda. Mereka menginginkan cukup ada dua nama yang mewakili segenap rakyat Indonesia dalam naskah proklamasi: Soekarno-Hatta.

“Ucapan itu disambut oleh seluruh yang hadir dengan tepuk tangan yang riuh dan muka yang berseri-seri. Aku merasa kecewa, karena kuharapkan mereka serta menandatangani suatu dokumen yang bersejarah, yang mengandung nama mereka untuk kebanggaan anak cucu di kemudian hari,” tambah Bung Hatta.