Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 56 tahun yang lalu, 11 Agustus 1966, Indonesia sepakat rujuk kembali dengan Malaysia. Peristiwa itu ditandai dengan penandatanganan dokumen rujuk antara Pejabat Presiden Indonesia, Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak.

Sebelumnya, Indonesia dan Malaysia sempat bermusuhan. Semuanya karena Soekarno mengumandangkan seruan konfrontasi ‘Ganyang Malaysia’. Ia menganggap pembentukan Negara Federasi Malaysia sebagai proyek Neokolonialisme Inggris.

Penjajahan Inggris di tanah Malaya (Malaysia) punya sejarah panjang. Negeri Britania Raya sudah menjajah Malaysia sejak pertengahan abad ke-18. Namun, penjajahan itu berakhir pada 8 Februari 1956. Inggris menghibahkan kemerdekaan kepada Malaysia.

Nyatanya, Inggris tak pergi begitu saja. Bak pemilik boneka, Inggris merencanakan pembentukan Negeri Federasi Malaysia yang menggabungkan persekutuan tanah Melayu: Singapura, Sarawak, Brunei. Agenda itu pun ditentang oleh Soekarno. Ia menganggap pembentukan itu adalah akal-akal Inggris. Proyek kolonialisme, katanya.

Presiden Soeharto saat menerima kunjungan Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak di Istana Merdeka Jakarta pada 5 Mei 1972. (Perpusnas)

Soekarno khawatir kawasan Malaya akan jadi pangkalan militer Barat di Asia Tenggara. Pangkalan tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Tiap ada kesempatan Soekarno mulai membakar semangat rakyat untuk berjuang bersama pemerintah melawan boneka Inggris. Gerakan ‘Ganyang Malaysia’ pun digulirkan. Langkah Indonesia dalam menentang diikuti pula oleh negara lainnya. Filipina, misalnya.

“Hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat setelah 1963 terus memburuk, terutama karena kelahiran Malaysia yang dicurigai Soekarno sebagai ‘boneka Nekolim’ untuk melawan Indonesia. Soekarno pun melancarkan politik konfrontasi untuk menghancurkan Malaysia. Untuk mendukung dan melaksanakan kebijakannya, ia membentuk KOGAM, Komando Ganyang Malaysia, yang diketuainya sendiri.”

“Tema Ganyang Malaysia ia kobarkan di setiap sanubari rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Bahkan, tatkala kekuasaannya terus dipreteli oleh Angkatan Darat pascaG30S/PKI, obsesi Soekarno untuk menghancurkan Malaysia tetap menggebu-gebu. Nyaris tidak pernah dalam pidatonya Soekarno tidak menyinggung politik konfrontasinya itu dengan tujuan untuk membakar terus semangat, sekaligus meminta dukungan rakyat Indonesia,” ungkap Tjipta Lesmana dalam buku Dari Soekarno sampai SBY (2009).

Hubungan antara Indonesia dan Malaysia mulai dinormalisasi ketika 1966. Masa-masa di saat kekuasaan Soekarno mulai melemah. Pejabat Presiden Soeharto pun memimpin upaya rujuk kembali Indonesia dan Malaysia.

Aksi demonstrasi Ganyang Malaysia di Jakarta. (Wikimedia Commons)

Puncaknya, Soeharto berjumpa dengan Tun Abdul Razak di Bangkok pada 11 Agustus 1966. Pertemuan itu menandakan kembalinya hubungan baik antara Malaysia dan Indonesia. Pun sekaligus akhir dari narasi konfrontasi: Ganyang Malaysia.

“Pada bulan April dan Mei dimulai sebuah upaya memperbaiki hubungan dengan Malaysia. Di Bangkok, kemudian terjalin kesepakatan antara Adam Malik dengan Tun Abdul Razak. Apa yang tidak dipikirkan oleh Soeharto adalah peristiwa ini menimbulkan kritikan yang tajam di dalam negeri, terutama dari Soekarmo yang terus gencar menyuarakan antinekolim.”

“Takut kebijakannya akan digunakan untuk menyerang posisinya, Soeharto memutuskan untuk menunda pelaksanaan perjanjian hingga akhirnya benar-benar terlaksana pada 11 Agustus,” terang A. Yogaswara dalam buku Biografi Dari Pada Soeharto (2007).