Bagikan:

JAKARTA - Bung Karno pernah merangkul semua pejuang kemerdekaan dalam pemerintahannya. Namun, belakangan Bung Karno tak tahan kritik. Ia menyingkirkan semua pengkritiknya. Ia kemudian dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Malang tak dapat ditolak. Gerakan 30 September (G30S) pada 1965 terjadi. Peristiwa itu membuat Bung Karno dituntut merombak Kabinet Dwikora I. Keinginan itu dikabulkan. Seisi Indonesia kemudian mengenal Kabinet Dwikora I dan II yang gemuk dengan nama Kabinet 100 menteri.

Politik tak mengenal narasi abadi. Kawan bisa menjadi lawan. Lawan pun bisa jadi teman. Kondisi itu hadir pula pada era pemerintahan Presiden Soekarno. Ia mulanya mewujudkan keinginan pejuang kemerdekaan dengan merangkul banyak tokoh bangsa dalam pemerintahannya.

Kekuasaan pun menyilaukan hati Bung Karno. Kondisi itu sempat dilirik oleh Bung Hatta. Hatta kemudian memilih mengundurkan diri dari jabatan Wapres Indonesia karena tak sejalan lagi dengan Bung Karno pada 1956.

Kondisi itu membuat Bung Karno kian leluasa dalam memimpin. Bung Karno menobatkan dirinya sebagai presiden seumur hidup. Barang siapa yang mengganggu kekuasaannya, akan disingkirkan. Sekalipun tokoh yang melempar kritik itu muncul dari rekannya sesama pejuang kemerdekaan.

Pelantikan Kabinet Dwikora I oleh Bung Karno pada 27 Agustus 1964. (Wikimedia Commons)

Ambisi besar Soekarno pun mengemuka. Ia mulai melirik banyak proyek mercusuar. Ia pun memulai konfrontasi dengan Malaysia. Konfrontasi dengan Malaysia dianggap wajar karena Negeri Malaya akan jadi boneka Inggris.

Mau tak mau pekikan Ganyang Malaysia pun muncul di mana-mana. Urusan mengganyang Malaysia bukan hal mudah. Kondisi itu memancing Soekarno untuk menciptakan kabitet gemuk. Kabinet Dwikora I, namanya. Kabinet itu berisi 104 orang menteri dan pembantu presiden setingkat menteri.

Kabinet Dwikora I bertugas dari 27 Agustus 1964 hingga 21 Februari 1966. Bung Karno ingin semua lini pemerintahan memiliki sumbangsih tinggi untuk mendukung perjuangan Indonesia melawan ganyang Malaysia. Gemuknya kursi menteri pun dianggapnya jalan utama keberhasilan konfrontasi -- supaya lini pemerintahan efektif.

“Bahwa revolusi kita ini hendak diamblaskan, hendak dimatikan, hendak ditiadakan, sedikitnya dikepung, dilawan oleh pihak Imperialis yang tidak senang dengan kita. Oleh karena itu, kita harus mempertahankan revolusi itu dengan cara yang diumumkan. Misalnya yaitu dengan Dwikora yang sehebat-hebatnya.”

“Dwi Komando Rakyat, pada pokoknya ialah mempertinggi ketahanan kita. Ketahanan daripada revolusi ini. Kedua untuk memberikan bantuan kepada perjuangan-perjuangan rakyat Kalimantan Utara (Sabah dan Sarawak), untuk menjadi negara-negara Merdeka pokoknya ialah ganyang Malaysia,” ungkap Bung Karno dalam tujuannya membentuk Kabinet Dwikora I dikutip majalah Mimbar Penerangan berjudul Kabinet Dwikora (1964).

Kabinet 100 Menteri

Kehadiran kabinet gebuk tak membuat pemerintah berjalan baik. Malahan jadi senjata makan tuan. Ekonomi Indonesia jalan di tempat. Rencana konfrontasi Malaysia berantakan. Nuansa tak efektif kabinet gemuk mulai terlihat kala resesi ekonomi mulai terasa.

Kondisi itu kemudian diperparah oleh hadirnya peristiwa G30S PKI. Belakangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap jadi dalang dari penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal. Isu kekejian PKI lalu membuat rakyat bergerak menuntut Soekarno mengambil tindakan tegas.

Gelora aksi turun ke jalan dikumandangkan. Aksi Tritura (tiga tuntutan rakyat) digelorakan kaum mahasiswa. Tiga tuntutan itu: pertama, turunkan harga-harga, bubarkan PKI, dan rombak Kabinet Dwikora. Mulanya aksi itu dianggap biasa-biasa saja. namun, kian hari makin besar.

Bung Karno pun mau tak mau mengikuti keinginan rakyat untuk merombak kabinet yang notabene banyak orang PKI. Bung Karno pun mengumumkan susunan kabinet pada 12 Februari 1966. Total 132 nama calon menteri dan pembantu presiden setingkat menteri diumumkan.

Kabinet itu secara paripurna dikenal sebagai kabinet 100 Menteri. Rakyat pun menganggap susunan kabinet itu tak banyak perubahan. Orang-orang PKI dianggap masih ada. Bung Karno pun mengganggap angin saja dan terus melakukan pelantikan pada 24 Februari 1966.

Upaya itu membuat rakyat berang. Aksi cegat dan kempiskan ban mobil menteri dilakukan. Kondisi itu membuat ada menteri yang menggunakan helikopter ke Istana Negara. Suatu hal yang dianggap berlebihan oleh rakyat Indonesia.

Rakyat kian berang. Kondisi politik itu membuat kabinet 100 menteri hanya bertahan 32 hari (24 Februari 1966 hingga 27 Maret 1966) saja dan bubar. Kabinet 100 menteri nyatanya banyak mudarat, ketimbang manfaat. Rakyat pun marah dan menghendaki kabinet itu diubah hingga kemudian diambil alih oleh Soeharto.

“Rupanya saya termasuk mereka yang aman-aman saja ketika memasuki Istana. Sebab, ada menteri yang naik taksi atau jalan kaki sebab mobilnya dikempeskan para demonstran. Namun, di antara para menteri itu ada juga yang datang dengan cara yang mentereng sekaligus aman sekali, yaitu naik helikopter!,” cerita Hoegeng Imam Santoso yang jadi salah satu Menteri Kabinet Dwikora II ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).