Bagikan:

JAKARTA - Soekarno adalah orator ulung. Pidatonya yang berapi-api tak saja membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Gaung pidato Bung Karno turut membuka mata dunia akan banyak hal, termasuk soal sikap anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Pidato bertema To Build The World a New pada 1960, misalnya. Pidato itu menggetarkan sidang majelis Umum PBB. Pidato itu dilabeli sebagai salah satu pidato terbaik di dunia.

Kemampuan Bung karno sebagai orator besar telah teruji sedari sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Dalam menyusun pidato, Bung Karno tak pernah ala kadarnya. Ia bersikap total.

Laksana mahakarya, segala sesuatunya –-dari materi hingga suasana-- diatur sedemikian rupa oleh Bung Besar. Karenanya, setiap pidato yang dihasilkan Bung Karno adalah hasil tulisannya sendiri dan ia pun jadi penanggung jawab atas tiap detail yang terucap.

Penuturan itu keluar langsung dari ajudan Bung Karno sendiri, Bambang Widjanarko. Setiap ingin menyusun pidato, biasanya Bung Karno disibukkan dengan meminta bahan dan saran tertulis dari berbagai pihak: menteri, pimpinan wakil rakyat, pimpinan partai politik/ormas, dan panglima angkatan.

Seperti dalam tiap penyusunan pidato perayaan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus. Bung Karno sering kali menjadikan Istana Tampaksiring, Bali sebagai lokasi membuat pidato. Tiap pidato biasanya sampai memakan waktu hingga lima sampai tujuh hari.

To Bulid The World a New yang 'menggetarkan' dunia

Soekarno (Sumber: geuheugen.delpher.nl)

“Segera setelah bangun pagi, Bung Karno berjalan-jalan di taman Istana yang cukup luas. Mengirup hawa pagi yang sejuk sambil menikmati indahnya bunga-bunga serta alam sekitar, berjalan kaki menuruti naik-turunnya jalan di taman, sunggu amat menyegarkan. Selesai makan pagi, Bung Karno masuk kamar dan mulai menulis sampai tiba saat makan siang,” ungkap Bambang WIdjanarko dalam buku Sewindu Bersama Bung Karno (1988).

Selesai makan siang, Bung Karno menuju kamar untuk tidur siang sebentar. Setelahnya, Bung Karno meneruskan menulis pidato sampai sekitar pukul 17.00. Pada malam hari, Bung karno mulai kembali menulis pidato sekitar pukul 22.00.

Bukan berarti Bung karno selalu fokus mengerjakan pidato tanpa jeda tiap harinya. Sebab, pada waktu tertentu Bung Karno memilih mendinginkan otak dengan cara berkunjung ke Ubud, Bali untuk melihat lukisan atau patung, dan berjalan-jalan di Kintamani untuk menikmati keindahan alam Pulau Dewata.

Lebih lengkap terkait dinamika pariwisata Bali, kami pernah menulisnya dalam tulisan “Sejarah Pariwisata Bali: Gesekan Abadi Adat dan Wisata".

Dalam menulis pidato, Bung Karno mengakui sendiri bahwa tiap pena yang digoreskan ke kertas, ada perasaan cinta yang meluap-luap terhadap Tanah Air dan bangsa Indonesia. Pernyataan itu bahkan sempat diucapkan oleh Bung Karno sendiri.

Ia mengungkap itu kala memberikan pidato dalam upacara kemerdekaan Republik Indonesia pada 1963. Luapan emosi dalam menulis pidato sering kali membuatnya gonta-ganti kertas. Lantaran air mata Bung Karno sering membasahi kertas pidato.

“Dengan terus-terang saya katakan di sini, bahwa beberapa kali saya harus ganti kertas, oleh karena air-mataku kadang-kadang tak dapat ditahan lagi. Tak dapat ditahan lagi, oleh rasa gembira pada diri sendiri, dan rasa terimakasih kepada seluruh Bangsa Indonesia yang telah menunjukkan keuletan yang sedemikian itu, dan rasa Syukur Alhamdulillah kepada Tuhan Yang Maha Adil, yang telah mengkurniai perjuangan yang ulet itu dengan pahala yang maha-tinggi,” tambah Bung Karno dalam pidatonya berjudul Genta Suara Republik Indonesia (1963).

To Build The World A New

Soekarno tak cuma menunjukkan kematangannya dalam berpidato di mimbar nasional semata. Dalam mimbar internasional, Bung Karno turut membuktikan kemahirannya sebagai orator besar.

Konsistensi berpidato itu telah ditunjukkan oleh Bung Karno kala mendapatkan kesempatan berdiri di sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 30 September 1960. Dengan pidato yang berjudul To Build The World a New, ia menegaskan seruan anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Ia juga coba mengenalkan Pancasila kepada dunia.

“Imperialisme, dan perjuangan untuk mempertahankannya, merupakan kejahatan yang besar didunia kita ini. Banyak diantara Tuan-tuan dalam Sidang ini tidak pernah mengenal imperialisme. Banyak diantara Tuan-tuan lahir merdeka dan akan mati merdeka. Beberapa diantara Tuan-tuan lahir dari bangsa-bangsa yang telah menjalankan imperialisme terhadap yang lain, tetapi tidak pernah menderitanya sendiri. Akan tetapi Saudara-saudara saya di Asia dan Afrika telah mengenal cambuk imperialisme. Mereka telah menderitanya. Mereka mengenal bahayanya dan kelicikannya serta keuletannya,” cerita Bung Karno di dalam pidatonya berjudul To Build The World a New (1960).

Pidato berdurasi 90 menit itu, disampaikan Bung Karno dengan penuh semangat dan berapi-api. Bung Karno tampak menelanjangi habis-habisan sistem atau konsep yang dibangun oleh barat selama berabad-abad.

Soekarno dalam salah satu pidato (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagi Bung Karno, perdamaian dan ketenangan adalah hal mutlak yang diinginkan dunia. Untuk itu, PBB diminta untuk tidak mencegah hal itu tercipta. Apalagi, tugas para pemimpin dunia bukannya mempertahan dunia ini, melainkan untuk membangun dunia kembali.

Soekarno tak lupa mengingatkan bahwa aspirasi yang dibawa oleh Indonesia adalah milik sebagian besar negara-negara Asia-Afrika. Lebih lagi, Bung Karno menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya sosok pemimpin Indonesia yang berani menggertak siapapun di luar negeri.

Lewat pidato itu, Bung Karno membuat dirinya didengar oleh banyak umat manusia. Dalam konteks itu, Putra Sang Fajar tak sekedar berperan sebagai Presiden Indoensia. Ia juga seakan berperan sebagai pemimpin Asia-Afrika.

“Lebih dari itu, Soekarno juga berperan sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok yang terbentuk setahun kemudian di Beograd, Yugoslavia. Ketika menyampaikan pidato di Sidang XV Majelis Umum PBB, atas nama delegasi-delegasi India, Ghana. Yugoslavia, Mesir, dan Indonesia. Soekarno menyampaikan rancangan resolusi yang mendesak Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk mengambil langkah-langkah konkret guna meredakan ketegangan di dunia, sekaligus mendesak PBB untuk lebih berperan di dalamnya,” tertulis dalam buku Speeches That Changed the World (2008).

*Baca Informasi lain soal SOEKARNO atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya