Aksi Angkatan 66 <i>'Kempesin'</i> Ban Mobil Menteri Soekarno
Demo angkatan 66 (Sumber: Perpusnas.go.id)

Bagikan:

JAKARTA - Kekuatan aksi mahasiswa dalam sejarah bangsa tak bisa dianggap remeh. Mahasiswa lewat aksi besarnya tahun 1965-1966 terbukti jadi penyebab kejatuhan Soekarno. Aksi yang mempulerkan istilah “turun ke jalan” juga turut mempermalukan Bung Besar. Pelantikan kabinet baru Dwikora II yang batal, misalnya. Mahasiswa tak saja menutup jalanan Jakarta tapi turut melakukan aksi pengempisan ban mobil.

Aksi itu kemudian memperlihatkan boroknya Orde Lama. Peristiwa gerakan 30 September (G30S) jadi muara pemerintahan Soekarno mulai kehilangan martabatnya. Lebih lagi, peristiwa G30S langsung diikuti oleh demonstrasi panjang (Oktober 1965- Maret 1966) mahasiswa yang tak puas terhadap keadaan. Ketidakpuasan itu dituangkan oleh mahasiswa dalam tiga tuntutan.

Pertama, bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), rombak kabinet serta turunkan harga. Tiga tuntutan tersebut kemudian langggeng dikenal sebagai Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Aksi pun tak cuma berpusat di satu tempat, melainkan di banyak titik, mulai dari Istana Negara, Istana Bogor, jalanan Jakarta, hingga gedung-gedung kementerian.

Aksi bahkan sampai meluas ke Bandung. Mahasiswa kala itu menganggap pemeritahan Soekarno terlalu lembek dengan PKI dan kian terasanya krisis ekonomi pada akhir 1965. Apalagi, jarak antara rakyat dan Bung Karno semakin menjauh. Pun masalah itu semakin diperparah dengan tingkah laku Bung Karno yang disebut mahasiswa “tukang kawin” dan doyan pesta.

Bung Karno (Sumber: Wikimedia Commons)

“Bung Karno seolah-olah dijadikan tawanan dalam sangkar emas. Tanpa koneksi jangan harap dapat menjumpai beliau. Dan dalam suasana seperti ini ada suatu otak yang secara sistematis berusaha ‘mendekadensikan’-nya. Ia terus menerus di-supply dengan wanita-wanita cantik yang lihai. Hartini muncul (siapa yang mempertemukannya?), dan membuat Bung Karno dihancurkan,” ungkap aktivis mahasiswa angkatan 66 Soe Hok Gie dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran (2011).

“Sejak itu wanita-wanita cantik keluar masuk istana: Baby Huwae, Ariati, Sanger, Dewi, dan lain-lainnya. Seolah-olah Bung Karno mau dialihkan hidupnya dari insan yang cinta tanah air menjadi kaisar-kaisar yang punya harem. Tiap minggu diadakan pesta-pesta yang dekaden di Istana dengan ngomong cabul dan perbuatan-perbuatan cabul,” tambahnya.

Alhasil, mahasiswa pun mencari figur baru. Mereka berharap figur itu dapat membawa perubahan bagi Indonesia ke arah yang lebih baik. Di tengah kekalutan itu muncul sosok Jenderal Soeharto sebagai idola baru. Tak jarang dalam aksi mahasiswa nama The Smiling General disebut-sebut. Soeharto dianggap figur pendiam yang lurus dan enggan berpolitik.

Lebih lagi, tiap Soeharto turun ke lapangan, suasana yang hampir “chaos” dapat ditenangkan dengan mudah olehnya. “Seperti banyak orang, saya menaruh banyak harapan pada periode Orde Baru, karena Orde Baru menjanjikan koreksi total terhadap kesalahan Orde Lama."

"Dan seperti banyak orang Indonesia lain, meski saya pengagum Bung Karno, saya sangat menyadari kelemahan Bung Karno terhadap wanita dan persoalan manajemen ekonomi,” cerita Jenderal Hoegeng Imam Santoso dikutip Leila S. Choiduri dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Bertahan di Jalur Jujur (1992).

Aksi pengempisan ban mobil

Demonstrasi Tritura yang makin masif akhirnya mendapatkan respons. Secara resmi, Bung Karno akan merombak kabinet dengan orang-orang baru. Bung Karno bahkan mengumumkan susunan Kabinet Dwikora II yang merupakan penyempurnaan dari Kabinet Dwikora I pada 12 Februari 1966.

Lalu, pelantikan calon-calon menteri baru akan direncanakan sembilan hari kemudian, atau pada 21 Februari 1966. Akan tetapi, susunan kabinet baru yang diumumkan Bung Karno tidak banyak memuaskan banyak pihak. Alasannya, karena masih banyak wajah lama-lama yang dianggap mahasiswa belum bebas dari unsur komunis.

Sebagai bentuk penolakan, para mahasiswa langsung turun kembali ke jalan mengadakan demonstrasi dan bergerak ke istana. Sebagaian mahasiswa ada yang menutup jalan ke istana. Sebagiannya lagi melakukan aksi pengempisan ban mobil.

Aksi pengempisan ban mobil pun dilihat langsung oleh Jenderal Hoegeng, yang kala itu masih berstatus Menteri Iuran Negara. Hoegeng yang buru-buru ke Istana Negara untuk dilantik dengan tugas baru, Menteri Sekretaris Presidum Kabinet, merasa jalanan yang dilaluinya sehari-hari menuju Istana Negara demikian padat dan macet.

Usut punya usut, ketika mendekati Gambir, Hoegeng melihat para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan para pelajar dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (Kappi) menjadi biang keladi kemacetan.

Demo Tritura (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Para demostran pun langsung mendatangi mobil satu persatu untuk dikempiskan. Kemudian, ketika ingin melakukan pengempisan mobil yang ditumpangi Hoegeng, beberapa mahasiswa banyak yang mengenal sosok polisi jujur tersebut. Pengempisan urung dilakukan karena Hoegeng dianggap sosok yang lurus. Hoegeng pun bebas melaju. Akan tetapi, tidak bagi calon menteri lainnya yang terjebak macet.

“Rupanya saya termasuk mereka yang aman-aman saja ketika memasuki Istana. Sebab, ada menteri yang naik taksi atau jalan kaki sebab mobilnya dikempeskan para demonstran. Namun, di antara para menteri itu ada juga yang datang dengan cara yang mentereng sekaligus aman sekali, yaitu naik helikopter!,” cerita Hoegeng dikutip Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).

Kehadiran menteri yang menggunakan helikopter itulah makin membuka borok kepemimpinan Soekarno. Di tengah kondisi ekonomi negara yang morat-marit, banyak di antara menteri yang justru memiliki gaya hidup serba mewah dengan memboroskan keuangan negara. Sedang masyarakatnya harus berjuang hidup agar bisa memenuhi kehidupan sehari-hari.

Imbas aksi pengempisan ban mobil, pelantikan kabinet Dwikora II dibatalkan. Situasi Jakarta saat itu kemudian menjadi mencekam karena tertembaknya salah seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Arif Rahman Hakim (ARH) oleh pasukan Cakrabirawa.

Namun, Soekarno tetap memaksa muncul ke publik pada pukul 18:30 untuk mengumumkan susunan kabinet Dwikora II yang disempurnakan. Kerena itu, pelantikan baru akan dilaksanakan tiga hari setelahnya, yakni pada 24 Februari 1966.

“Waktu itu mahasiswa memprotes sidang dan pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Rupanya aksi-aksi mahasiswa ini dianggap cukup mengganggu dan mengancam oleh pasukan Cakrabirawa. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba pasukan Cakrabirawa melepaskan tembakan yang entah disengaja atau tidak tertuju pada demonstran."

"Bagi yang telah terbiasa berdemo, tentu akan langsung tiarap atau berlindung di balik sesuatu saat mendengar suara tembakan. Namun, karena baru pertama kali ikut berdemo, ARH kurang cepat tiarap atau berlindung sehingga sebuah peluru menghantam tubuhnya,” tutup mahasiswa angkatan 66, Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).

*Baca Informasi lain soal SOEKARNO atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya