Bagikan:

JAKARTA - Standar kecantikan wanita Indonesia tak pernah bersifat tunggal. Ihwal standar kecantikan sejak dulu kala sudah dipengaruhi banyak hal. Pengaruh penjajahan Belanda, misalnya. Kehadiran Belanda di Nusantara mengukuhkan anggapan kulit “putih” sebagai standar kecantikan baru.

Siapa yang berkulit putih, ia adalah golongan cantik nan superior. Sedang warna kulit lain sebaliknya. Kulit putih juga memengaruhi kelas yang membuat ras Kaukasia hidup sebagai warga nomor satu di Hindia-Belanda.

Pada awal masa pemerintahan kongsi dagang Belanda VOC di Nusantara, kehadiran bangsa Eropa yang menetap masih sedikit. Permasalahan transportasi dan jaraknya yang jauh jadi masalah utama.

Kondisi itu membuat orang Eropa yang datang ke Bumi Khatulistiwa terbatas pada kaum laki-laki Eropa saja. Kedatangan itu tanpa disertai kaum wanita. Kecuali kaum wanita yang telah jadi pasangan dari pejabat tinggi VOC.

Kondisi itu membuat Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen prihatin. Menurutnya, Belanda tak akan berhasil menjadikan Nusantara sebagai tanah koloni tanpa kehadiran wanita Eropa yang terdidik.

Gubernur VOC Jan Pieterszoon Coen (Sumber: Commons Wikimedia)

Coen pun bersurat kepada pimpinan VOC, Heeren Zeventien di Belanda. Tanpa basi-basi, Coen meminta segera dikirimkan perempuan dari negeri Belanda. Siapapun, baik termasuk wanita yatim piatu dan mereka dari keluarga miskin.

“Coen tak sekedar meminta dikirimkan anak-anak gadis, tapi juga mengusulkan agar banyak keluarga Belanda dari kalangan baik-baik mau bermigrasi ke Batavia. Bersama para keluarga itu, ia berharap disertakan pula sekitar 400 hingga 500 anak laki-laki dan wanita yang diambil dari rumah yatim piatu di Belanda,” ungkap Acmad Sunjayadi dalam buku [Bukan] Tabu di Nusantara (2018).

“Perbandingan jumlah anak laki-laki dan perempuan yang diusulkan adalah 2:1. Khusus anak wanita, mereka akan tinggal dengan keluarga atau di sekolah-sekolah khusus yang dibiayai kompeni. Di sana mereka akan diasuh, dirawat, dididik, dan diajar sampai mereka akil balig, cukup umur untuk dikawinkan dengan calon suami yang baik. Dari perkawinan itu diharapkan mendapatkan keturunan keluarga-keluarga terhormat,” tambahnya.

Usulan Coen mampu menambah orang Eropa di Batavia. Tapi tak besar. Maka dari itu proyek Coen dianggap gagal. Heeren Zeventien menyebut jarak Belanda-Batavia yang jauh sebagai penyebab kegagalan.

Apalagi gadis-gadis suci tak ternoda seperti yang diharapkan Coen tak pernah dikirim. Perkawinan antara sesama orang Eropa di Batavia tak membuahkan keturunan. Fakta itu dilihat dari tingginya angka keguguran dan kematian anak yang tinggi.

“Pada 1679, ketika jumlah penduduk Batavia mencapai sudah empat kali jumlah penduduk pada 1632 (kala itu, 8 ribu jiwa), yaitu sudah mencapai 32 ribu orang. Warga Eropa merupakan kelompok minoritas dan separuhnya tinggal di bagian timur kota, sekitar Parit Harimau, Parit Buaya, dan Parit Bangsawan (heerengracht) bersama warga Cina. Jumlah warga kulit putih memang bertambah hingga 2.227 orang, tetapi ini hanya 7 persen dari jumlah keseluruhan penduduk kota,” tulis Sejarawan Belanda Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Keistimewaan kulit putih

Keluarga kulit putih Belanda di zaman penjajahan (Sumber: Wikimedia Commons)

Tingginya angka migrasi orang Eropa ke Nusantara baru tercapai ketika Terusan Suez dibuka pada 1869. Kehadiran Terusan Suez mampu menyingkat waktu perjalanan Belanda-Batavia. Terusan Suez menandai puncak kehadiran wanita Eropa ke Hindia-Belanda.

Kedatangan wanita Eropa tak saja membawa serta budaya Eropa. Kedatangan mereka juga memunculkan kembali geliat standar kecantikan baru yang identik dengan warna kulit ras Kaukasia.

Sepanjang periode itu warna kulit putih juga menandai status sosial yang tinggi. Pandangan pemerintah kolonial Belanda bahkan berbeda dengan aturan negara Eropa lain, seperti Inggris.

Jika di inggris orang yang mendapatkan hak istimewa hanya wanita berdarah “murni” Eropa, di Hindia-Belanda, mereka yang berstatus sebagai keturunan campuran dan ragam profesi lain termasuk dalam kelompok yang mendapat ragam hak istimewa asal berkulit putih.

Realita itu menjadikan kaum bumiputra bercita-cita memiliki kulit putih, setidaknya untuk keturunannya. “Yang disebut wanita-wanita elite masa kolonial tentu saja bukan hanya para istri gubernur jenderal.

"Di dalamnya termasuk istri-istri, janda-janda, dan anak-anak wanita dari pedagang senior, administrator gudang, pmpinan atau kepala kantor dagang, kantor fiskal, pejabat pengadilan, dan anggota dewan Hindia,” ujar Jean Gelman taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).

Siapapun yang memiliki kulit putih otomatis mendapat ragam hak istimewa, sekalipun mereka keturunan campuran. Hak-hak istimewa itu di antaranya hak memperoleh pendidikan, pekerjaan, pesta dansa, hingga posisi di mata hukum.

Representasi wanita kulit putih inilah yang kemudian makin mengukuhkan bangsa kulit putih sebagai warga nomor satu di Hindia-Belanda. Begitu juga dengan orang-orang Jepang yang tinggal di Hindia Belanda, yang dikategorikan sebagai "orang Eropa kehormatan."

Meluas lewat iklan

Wanita Belanda di zaman penjajahan (Sumber: Wikimedia Commons)

Standar kecantikan kulit putih ras Kaukasia semakin meluas lewat iklan-iklan produk kecantikan di ragam surat kabar pada era 1900-an. Mereka yang kebanyakan tampil di iklan surat kabar terbatas pada wanita-wanita Eropa.

Produk-produk kecantikan itu selalu menggunakan wanita Eropa, sekalipun disandingkan dengan bahasa melayu. Sederet iklan-iklan di surat kabar itu jadi bukti melimpah tentang representasi wanita Kaukasia sebagai ideal kecantikan dalam wacana kecantikan yang dominan.

Ramuan iklan didominasi leh wajah rupawan wanita Kaukasia dalam gambar hitam putih, ditambah narasi yang membentuk kecintakan secara ideal. Seketika, banyak wanita bumiputra yang tergiur untuk mendapatkan kulit putih seperti model iklan.

Dalam iklan di surat kabar De Huisvrouw in Indie (1937), misalnya. Keterangan yang menyertai gambar seorang perempuan Kaukasia menyebut: Bagaimana perempuan-perempuan tercantik di dunia menjaga kecantikan mereka dengan sabun Palmolive.

“Hanya pada era kolonial Belanda-lah putih, sebagai warna kulit, mulai mengacu pada kaum kulit putih, artinya ras Kaukasia – makna warna kulit putih dengan demikian dilebur dengan makna ras putih. Seperti yang bias dilihat dalam iklan-iklan yang beredar waktu itu, produk-produk dengan model Kaukasia, mulai dari bedak ‘obat’ seperti bedak Virgin dan Ninon, hingga krim dingin Snow, biasanya mengklaim bias membuat kulit orang jadi putih (yang harfiahnya berarti warna putih, tak selalu ras putih),” tutup L. Ayu Saraswati dalam buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2013).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya