Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 120 tahun yang lalu, 5 Juli 1903, pelopor emansipasi wanita bumiputra, Raden Ajeng (R.A) Kartini menulis surat untuk sahabatnya di Negeri Belanda, Mien Bosch. Ia menyebut bahwa kaum bumiputra tak bodoh seperti pandangan Belanda.

Kaum bumiputra dianggapnya mampu menyerap perkembangan pendidikan barat. Sebelumnya, akses pendidikan bagi kaum bumiputra ditutup rapat oleh penjajah Belanda. Empunya kuasa tak ingin kaum bumiputra pintar. Ajian itu supaya Belanda mudah menjajah Nusantara.

Tak semua orang Belanda melihat penjajahan terhadap kaum bumiputra sebagai sesuatu yang diagungkan. Beberapa di antaranya melihat penjajahan adalah upaya yang sangat keji. Apalagi, nasib kaum bumiputra justru terus diperas bak sapi perah.

Pemerintah kolonial dianggap tak memiliki rencana ‘memanusiakan’ kaum bumiputra. Fakta itu hadir sepanjang era Tanam Paksa (1830-1877). Politisi di negeri Belanda pun berang. Mereka menyebut pemerintah sudah cukup membawa kesengsaraan di tanah Nusantara.

Pemerintah diminta untuk melanggengkan tanggung jawab moral atas nasib nelangsa kaum bumiputra di bawah penjajahan. Narasi itu membawa hasil yang gemilang. Pemerintah Belanda bersepakat untuk melanggengkan Politik Etis di Hindia Belanda pada 1901.

Potret bertanggal 20 Januari 1902 yang menunjukkan Kartini (kiri) bersama dua adiknya, Kardinah (tengah) dan Roekmini. (Wikimedia Commons)

Kebijakan itu membawa angin perubahan dalam tiga aspek. Emigrasi, irigasi, dan edukasi. Urusan akses pendidikan untuk kaum bumiputra jadi mulai dilirik. Empunya kuasa mulai merencanakan membuka akses pendidikan yang lebar untuk kaum bumiputra.

Padahal, sebelumnya penjajah sengaja membiarkan kaum bumiputra tak cerdas. Kehadiran Politik Etis pun disambut positif. Banyak di antara anak-anak kaum priayi mengakses pendidikan. Sekalipun tak sedikit pula yang tetap tak mampu mengakses pendidikan ala barat.

“Salah satu kebijakan Politik Etis yang sangat berpengaruh dalam perubahan kehidupan masyarakat Hindia Belanda awal abad ke-20 adalah meluasnya akses pendidikan bagi rakyat bumiputra. Kesempatan bagi kaum bumiputra untuk mengenyam pendidikan diperluas dengan harapan adanya suatu perubahan dalam taraf kehidupan di kalangan masyarakat Hindia Belanda.”

“Pemberantasan buta huruf dan pengentasan kemiskinan merupakan tujuan pokok yang ingin dicapai dami Politik Etis. Kaum Etis yakin bahwa perluasan pendidikan dan kemakmuran di kalangan bumiputra sangat penting, sebab dengan standar hidup yang lebih baik dan pengetahuan mengenai peradaban Barat yang baik pula, maka rakyat pribumi bukan saja akan meningkat kesejahteraannya, tetapi juga akan dapat menghargai segala sesuatu yang diciptakan oleh Belanda,” terang Alan Akbar dalam buku Memata-matai Kaum Pergerakan: Dinas Intelijen Politik Hindia-Belanda 1916-1934 (2013).

Kehadiran akses pendidikan bagi kaum bumiputra nyatanya tetap dikritik penguasa Hindia Belanda. Mereka menganggap kaum bumiputra terlalu bodoh untuk menerima perkembangan pendidikan ala barat.

Sekolah Kartini, sekolah khusus perempuan yang didirikan oleh sahabat R.A Kartini, Abendanon di Jakarta pada 1907. Foto ini menunjukkan pembukaan Sekolah Kartini cabang Bogor pada 1915. (Wikimedia Commons)

Anggapan itu kemudian dipatahkan oleh Kartini. Tokoh emansipasi wanita bumiputra itu menyebut Politik Etis telah membuka lebar-lebar akses pendidikan untuk kaum bumiputra. Ia bahkan menolak kaum bumiputra dicitrakan bodoh oleh pemerintah kolonial. Kartini membuktikan bahwa kaum bumiputra, wanita apalagi dapat menyerap perkembangan pendidikan barat dengan baik.

Pendapat itu diutarakan Kartini lewat surat untuk sahabatnya yang mengusai sastra Prancis, Mien Bosch di Negeri Belanda, pada 5 Juli 1903. Surat itu kemudian menjadi penegas bahwa pendidikan mampu memunculkan tokoh-tokoh muda bumiputra yang progresif.

“Dalam surat panjang dan terkesan terlalu emosional, kepada seorang guru perempuan Belanda bemama Mien Bosch pada 5 Juli 1903, misalnya, Kartini menulis: Saya ingin saudari mengenal jiwa rakyat kami yang lugu dan kekanak-kanakan (naif kind-volk) dan belajar mengasihinya. Dia menekankan bahwa para murid belia, yang bersekolah di sekolah kecil yang didirikannya di Jepara untuk anak-anak perempuan bupati, jaksa, dan wedono di lingkungannya.”

“Suatu lingkungan dekat pantai utara Jawa, memberikan bukti kuat akan kenyataan bahwa kaum bumiputra dapat menerima perkembangan pendidikan. Dia menyenangkan teman dan sesama pendidik Belanda dengan kisah yang menggembirakan tentang tugasnya yang indah yaitu membimbing mereka yang berjiwa muda dan bersih, dan membentuk tokoh-tokoh muda: para murid cepat, mau menerima, pintar, dan sekaligus begitu patuh,” cerita Frances Gouda dalam buku Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942 (2007).