JAKARTA – Sejarah hari ini, 193 tahun yang lalu, 16 Januari 1830, Johannes van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia menggantikan pemimpin negeri koloni sebelumnya, Leonard du Bus de Gisignies.
Belanda ingin Van den Bosch segera bergerak jadi juru selamat ekonomi akibat Perang Jawa. Sistem Tanam Paksa pun lahir. Karenanya, Belanda untung besar. Hasil tanam paksa dapat membuat Belanda membayar seluruh hutang-hutangnya. Uang itu pun turut juga membangun negeri Belanda.
Perang Jawa atau yang dikenal sebagai Perang Diponegero (1825-1830) adalah petaka buat Belanda. Perang yang berlangsung selama lima tahun itu membuat Belanda semakin jatuh pada level terendah. Apalagi sebelumnya kondisi ekonomi di Hindia Belanda (kini: Indonesia) terus merugi.
Semua karena harga komoditas kopi jatuh. Kondisi itu membuat Belanda buru-buru mengganti Gubenur Jenderal Hindia Belanda, Van der Capellen yang kerap melanggengkan kebijakan merugikan dengan Du Bus de Gisignies.
Opsi itu nyatanya tak dapat membawa perubahan yang siginifikan. Du Bus de Gisignies boro-boro dapat membawa perbaikan ekonomi bagi Hindia Belanda. Energinya justru banyak tersita untuk melanggengkan perang dengan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya.
Korban jiwa di antara kedua belah pihak berjatuhan. Belanda pun mulai merasa kerugian yang amat dalam. Kas negera bak dikuras habis karena Perang Jawa. Padahal, Belanda harusnya dapat menjamin negeri koloni memberikan keuntungan berlebih kepada Belanda. Sekalipun Du Bus de Gisignies mampu melemahkan perlawanan kaum bumiputra dalam Perang Jawa.
“Semua orang tahu bahwa Diponegoro bangkit memberontak terhadap kita, tetapi cara penangkapannya akan selalu, menurut hemat saya, menjadi suatu suatu aib bagi pamor generasi tua pendahulu kita untuk menempati janji (trouw).”
“Memang benar ia seorang pemberontak, tapi ia datang untuk mengakhiri perang yang telah menelan begitu banyak kerugian besar. Baik harta dan nyawa dipihaknya dan juga di pihak kita,” terang Pangeran Hendrik, Putra Bungsu Raja Willem II sebagaimana dikutip Sejarawan Peter Carey dalam buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 (2019).
Belanda pun mulai kewalahan. Kepemimpinan Du Bus de Gisgenies tak mampu membawa perubahan berarti. Van den Bosch pun muncul. Pria yang mulanya berkarier sebagai militer Belanda di Batavia ini percaya diri bahwa ia mampu membawa perubahan.
Belanda pun menunjuknya sebagai Gubenur Jenderal Hindia Belanda yang baru pada 16 Januari 1830. Empunya kuasa memilihnya karena konsep perbaikan ekonomi yang ditawarkannya. Sistem Cultuurstelsel (Tanam Paksa), namanya.
Sistem itu membuat Belanda mengorganisasikan petani bumiputra di Pulau Jawa sebagai alat meraih keuntungan. Mereka diperas bak sapi perah dalam tanam paksa. Alias kaum tani dipaksa menanam segala macam tanaman impor yang dianggap menguntungkan.
Hasilnya signifikan. Alih-alih hanya mengakhiri perlawanan Diponegoro, Van den Bosch justru membuat Belanda untung bejibun. Untung taman paksa nyatanya dapat membuat utang luar negeri Belanda lunas.
Apalagi segala macam pembangunan besar –sistem transportasi hingga pabrik-- di Negeri Kincir justru dibiayai dari untung tanam paksa. Karenanya, Van den Bosch jadi salah satu Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memiliki pengaruh besar.
“Van den Bosch kini menyakinikan rajanya bahwa dia akan menemukan produksi tanaman impor di Jawa sampai senilai 20 juta gulden setahun. Langkah-langkah khusus akan memberikan pedagang Belanda dan pelayaran Belanda kesempatan pertama untuk menangani hasil panen. Dia tidak bermaksud meletakkan seluruh beban memproduksi kekayaan ini di pindak petani Jawa.”
“Sebaliknya, dia berharap membayarkan bagian mereka dari keuntungan usaha itu. Karena Van den Bosch sekali lagi menjadikan pemerintah Hindia Timur Bealnda promotor langsung usaha pertanian, dia disebut berusaha kembali ke sistem tirani VOC,” ungkap Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (2008).