JAKARTA - Narasi Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang utama Gerakan 30 September (G30S) memunculkan kemarahan. Pekikan bubarkan PKI muncul di mana-mana. Dari kalangan mahasiswa hingga militer. Soeharto dan Orde Baru (Orba) menjawab keinginan itu.
Alih-alih cuma membubarkan PKI, Orba justru melanggengkan upaya ‘pembersihan’ PKI. Korban jiwa berjatuhan. Dianggap pelanggaran HAM berat pula. Setelahnya, Tiada yang mau minta maaf atas peristiwa itu, kecuali Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kekejaman G30S tak dapat dilupakan begitu saja dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Penculikan dan pembunuhan sederet jenderal TNI Angkatan Darat (AD) ada di baliknya. Apalagi G30S digadang-gadang memiliki tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno.
Rakyat pun turun ke jalan meminta Bung Karno menindak tegas PKI. Aksi demonstrasi berjilid-jilid dilangsungkan di berbagai tempat. Bahkan, mahasiswa melanggengkan aksi Tritura (tiga tuntutan rakyat). Antara lain bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga.
Aksi itu dilangsungkan seiring Bung Karno tak mau mengambil tindakan tegas kepada PKI. Kondisi Bung karno pun semakin terdesak. Karenanya, Bung Karno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Ia meminta Letnan Jenderal Soeharto untuk segera membereskan keadaan yang ada. Nyatanya, kuasa Supersemar membuat Soeharto bertindak jauh. Ia justru membubarkan PKI dan memburu elite politik yang jadi loyalis Soekarno.
Tindakan itu semakin menjadi-jadi ketika Soeharto secara paripurna menjadi orang nomor satu Indonesia menggantikan Soekarno. Ia melanggengkan upaya ‘pembersihan’ total simpatisan PKI pada 1965-1966. Konon korban jiwanya mencapai jutaan orang.
“Upaya pembubaran dan 'pembersihan’ PKI yang dilakukan oleh Soeharto tentu tidak terlepas dari para tokoh intelijen yang menyokongnya. Melalui operasi khusus misalnya, dilakukan operasi penggalangan dengan memanfaatkan dukungan massa atas pembubaran PKI.”
“Operasi penggalangan ini dilakukan secara bertahap dengan memanfaatkan kronologi dari mulai dikeluarkannya Supersemar, sampai dengan keluarnya putusan Mahkamah Militer Luar Biasa untuk melakukan penangkapan para tokoh-tokoh PKI. Capaian-capaian ini direspons cukup baik oleh massa dan kalangan militer yang pro dengan Soeharto,” terang Sarah Nuraini Siregar dalam buku Intelijen dan Kekuasaan Soeharto (2022).
Gus Dur Minta Maaf
Peristiwa pembantaian itu terus menghantui segenap rakyat Indonesia. Bahkan, empunya kuasa sempat membuat film khusus untuk melanggengkan propaganda terkait kejahatan dari G30S. Langkah itu disinyalir untuk menutupi kebrutalan upaya ‘pembersihan’ PKI oleh Orba.
Namun, lengsernya Orba membuat fakta-fakta baru bersileweran. Semuanya karena sejarah dan penelitian terkait G30S tak lagi ditutupi pada era B.J. Habibie. Dalang dari PKI tak melulu PKI. Lagi pula, ada kekuatan luar yang dianggap menyokong agenda pelengseran Bung Karno. Pun sekalipun PKI dalangnya, tentu tak dibenarkan jika orang lain –simpatisan PKI—yang tak tak bersalah harus dihukum.
Gus Dur pun menyadari hal itu. ia yang menggantikan Habibie sebagai orang nomor satu Indonesia muncul untuk meminta maaf atas pembantian simpatisan PKI pada 1965-1966 pada Maret 2000. Permintaan maaf itu di utarakan langsung kepada seluruh keluarga korban yang dianggap bagian dari Komunis.
Baginya, belum tentu semua orang yang dituduh sebagai Komunis semua bersalah dan harus dihukum mati. Sebagai bentuk keseriusan, Gus Dur ikut mengusulkan bahwa Tap MPRS No XXV/1966 soal pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran marxisme, komunisme, dan leninisme segera dicabut.
Pernyataan maaf atas Gus Dur pun memuculkan pro dan kontra. Mereka yang kontra beranggapan penyataan Gus Dur sebagai bentuk pembenaran supaya komunis bangkit lagi. Namun, Gus Dur tak ambil pusing. Sebab, agenda meminta maaf atas pembantaian komunis sudah dilakukannya jauh-jauh hari.
“Dengan meminta maaf, Gus Dur juga membongkar belenggu takhayul selama. hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, istri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar pada tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu.”
“Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak. Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. la, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak,” ungkap Goenawan Mohamad dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001).