Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 22 tahun yang lalu, 29 April 2001, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melanggengkan istigasah (doa) massal. Kegiatan itu mampu mendatangkan puluhan ribu orang ke Parkir Timur Senayan, Jakarta Selatan.

Utamanya, Presiden Indonesia yang tengah kontroversi, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Alih-alih murni sebagai kegiatan agama, istigasah massal dianggap agenda politik. Istigasah itu disanyalir sebagai 'perlawanan' PBNU kepada mereka yang menginginkan Gus Dur lengser.

Hujan kontroversi mengiringi akhir masa pemerintahan Gus Dur. Kiai kharismatik itu kerap melanggengkan kebijakan-kebijakan yang memantik amarah rakyat Indonesia. Ia muncul ke khalayak umum dengan keinginan meminta maaf atas pembantaian simpatisan PKI pada 1965-1966.

Lebih lagi, Gus Dur dengan serius mengusulkan supaya Tap MPRS No XXV/1966 soal pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme segera dicabut. Langkah politik itu menambah daftar kontroversi yang dilakukan oleh Gus Dur.

Tentangan pun muncul di mana-mana. Utamanya dari jajarannya sendiri. Bahkan, ada menterinya yang meminta Gus Dur segera mundur teratur. Apalagi, setelah Gus Dur dianggap terlibat dalam skandal buloggate dan bruneigate.

Abdurrahman Wahid yang menjabat sebagai Presiden Indonesia periode 1999 hingga 2001. (nu.or.id/pojok gus dur)

Namun, Gus Dur dianggap ogah menerima kritik. DPR yang melemparkan kritik kepadanya dicerca habis-habisan oleh Gus Dur. Ia pun ingin membubarkan DPR. Kontroversi itu membuat langkah politik Gus Dur berada dalam fase berbahaya. Ia terancam lengser karenanya. Kepemimpinannya dianggap hanya membawa kontroversi, ketimbang manfaat.

“Sembilan bulan jalannya pemerintahan, Presiden Gus Dur justru tampil sebagai sosok yang penuh kontroversi, baik dari segi ucapan maupun dari segi tindakan dirasakan lebih banyak memunculkan rasa bingung di masyarakat.”

“Dari berbagai ucapan yang dilontarkan, misalnya, dalam sebuah kesempatan secara reaktif presiden menuduh tiga orang menterinya terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kesempatan lain, ia ingin mengampuni mantan Presiden Soeharto, membuka hubungan dagang Israel, mencopot lima orang anggota kabinetnya, ingin menghapus ketetapan MPRS mengenai pelanggaran ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme, dan beberapa ucapan kontroversial lainnya,” tertulis dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur (2010).

Narasi pelengseran Gus Dur mengemuka di mana-mana. Gus Dur pun menyadari upaya itu. Namun, ia tak tinggal diam. Ia sempat menyatakan bahwa jikalau dilengserkan Jakarta akan dipenuhi ratusan ribu massa pendukungnya.

Gertakan itu kemudian dibuktikan dengan andil organisasi yang pernah dipimpinnya PBNU mengelar istigasah massal di Parkir Timur Senayan, Jakarta Selatan pada 29 April 2001. Alih-alih hanya gelaran untuk memperingati Tahun Baru Islam 1422 H, hajatan itu dianggap terlalu politis.

Gelaran itu diyakini khalayak sebagai ajang unjuk kekuatan kepada mereka yang ingin Gus Dur lengser. Acara itu semula ditargetkan akan dihadiri satu juta peserta. Sekalipun yang datang tak sampai satu juta orang.

“Walaupun niatnya agung, istigasah tak lain dari alat politik presiden dan pendukung-pendukungnya dalam pertarungan perebutan kekuasaan yang tengah berlangsung melawan musuh-musuhnya. Tak heran bahwa kebanyakan pemimpin politik menolak undangan untuk menghadiri doa massal ini. Peringatan yang dilontarkan Kabinet Abdurrahman Wahid bahwa akan timbul kekerasan jika DPR berkeras melakukan impeachment terdengar seperti ancaman ketimbang nasihat,” tertulis dalam laporan Jakarta Post dikutip Greg Barton dalam buku Biografi Gus Dur (2003).