Bagikan:

JAKARTA - Mohammad Hatta menganggap budaya Eropa tak selama buruk. Urusan disiplin waktu, misalnya. Kedisiplinan itu diadopsinya menjadi ajian dalam melepas belenggu penjajahan. Ia kemudian dikenal sebagai pribadi yang sangat menghargai waktu.

Laku hidup itu terbawa hingga Indonesia merdeka. Ia kerap mengecam orang-orang yang tak menghargai waktu. Siapa pun itu. Bung Hatta bahkan pernah marah-marah ke penanggung jawab rumah makan di Jerman gara-gara pelayanannya lambat, buang-buang waktu.

Kebencian kaum bumiputra terhadap orang Eropa - utamanya orang Belanda - pernah mendarah daging. Orang Eropa justru menempatkan kaum bumiputra pada strata terendah di masa penjajahan Belanda. Apalagi, kaum bumiputra sampai disamakan dengan hewan.

Kebencian itu berimbas ke mana-mana. Hal-hal berbau Eropa banyak ditolak segenap kaum bumiputra. Namun, Bung Hatta justru tampil beda. Ia memberanikan diri untuk selektif menilai budaya Eropa. Segala budaya Eropa yang mengandung manfaat besar bagi perkembangannya diadopsi.

Disiplin akan waktu, utamanya. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu. Laku hidup itulah yang jadi ‘amunisi’ Hatta menjajaki pendidikan di Batavia (kini: Jakarta), kemudian Belanda. Ia termasuk ke dalam golongan pelajar yang tak sulit beradaptasi dengan pendidikan Eropa.

Mohammad Hatta atau Bung Hatta dalam sebuah kunjungan ke Belanda. (Wikimedia Commons/Hugo van Gelderen)

Bung Hatta mampu menjelma menjadi sosok penting pergerakan mahasiswa bumiputra di Belanda. Ia sangat disiplin dengan waktu. Ia selalu hadir tepat waktu ketika kuliah maupun kala berjanji. Semuanya harus terencana. Tak boleh tidak.

Kesaksian akan Hatta yang disiplin perkara waktu diakui oleh banyak orang. Sebab, ia membenci orang yang tak menghargai waktu.

“Pengalaman bergaul dengan keluarga Belanda sejak masa kecil di Bukittinggi sampai pendidikan menengah di Padang dan Batavia. Agaknya pengalaman itu telah menyiapkan Hatta untuk menjalani suasana kehidupan masyarakat Barat tanpa kejutan budaya yang berarti.”

“Hatta bahkan mampu memahami budaya dan peradaban Barat dengan lebih baik dan menyerap segi-segi positif dari budaya dan peradaban Barat seperti berpikir rasional, kerapian dalam berpakaian, sikap correct, tertib dan disiplin terhadap waktu (punctual). Di kemudian hari Hatta dikenal sebagai salah satu pemimpin awal Indonesia yang amat dipengaruhi oleh pola pikir, sikap dan perilaku kehidupan Barat (westernized) dalam arti positif,” terang Zulfikri Suleman dalam buku Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010).

Omelan Hatta di Rumah Makan

Kedisiplinan Hatta tak pernah lekang oleh waktu. Semakin tua, ia semakin menghargai waktu. Ia tak ingin waktunya terbuang percuma untuk hal-hal sepele. Ia bahkan tak segan-segan menegur siapa saja yang melanggar disiplin waktu.

Bung Hatta pernah menegur banyak orang. Dari pengusaha hingga petinggi militer soal waktu. Pun sewaktu ia tak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia, kedisiplinannya tak lantas hilang. Misalnya kala Hatta dan rombongan ke luar negeri dalam rangka memberi ceramah ke berbagai institusi di Amerika Serikat dan Eropa.

Suatu ketika Hatta dan rombongannya –termasuk istri dan anak sulungnya, Meutia Hatta—mencoba mampir ke rumah makan (restoran) di salah satu kota di Jerman. Seluruh peserta rombongan –14 orang-- tengah kelaparan. Tanpa basa-basi mereka langsung memesan roti lapis (sandwich), teh, dan kopi.

Nyatanya, pesanan yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Malahan rombongan orang Eropa yang datang setelah mereka sudah dilayani lebih dulu. Hatta pun berang bukan main. Banyak waktu yang terbuang percuma akibat pelayanan lambat dari rumah makan.

Bung Hatta lalu mengambil inisiatif untuk berbicara langsung kepada penanggung jawab restoran. Hatta mengungkap kekesalannya dengan pelayanan restoran yang membuang waktu mereka dengan bahasa Jerman yang fasih.

Mohammad Hatta atau Bung Hatta bersama keluarganya. (Wikimedia Commons/Hugo van Gelderen)

Ia pun menyinyalir pelayan restoran melihat mereka sebagai bangsa Asia sehingga pelayanan dibeda-bedakan. Kemarahan Bung Hatta membawakan hasil. Penanggung jawab restoran yang panik kemudian menginstruksikan bawahannya untuk mengantar seluruh pesanan Bung Hatta dan rombongan.

Amarah Hatta pun nyatanya ikut menarik perhatian seisi rombongan. Mereka kagum dengan ketegasan Hatta, Meutia Hatta utamanya. Apalagi, Hatta menyampaikan keberatannya atas pelayanan restoran dengan bahasa Jerman yang fasih.

“Tadi ada belasan orang yang datang sesudah kami, kenapa mereka segera dilayani? Apakah karena kami orang asing sehingga tidak dianggap berhak untuk mendapatkan pelayanan yang sama dengan mereka yang datang sesudah kami?”

“Kalian sebagai orang modern tentu tahu bahwa waktu sangat berharga, tidak bisa kalian mengabaikan kami dan membuat kami kehilangan waktu. Dalam era modern sekarang ini semua harus mendapatkan haknya secara sama. kami juga akan memenuhi kewajiban kami untuk membayar pesanan kami,” terang Bung Hatta sebagaimana ditulis anak sulungnya, Meutia Farida Hatta dalam buku Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya (2015).