Bagikan:

JAKARTA - Sejarah hari ini, 43 tahun yang lalu, 24 April 1980, Presiden Soeharto meresmikan Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Kehadiran museum dielu-elukan Soeharto sebagai kado peringatan 25 tahun KAA mengguncang dunia.

Sebelumnya, KAA adalah panggung besar Indonesia menunjukkan nyali kepada dunia. Indonesia kala itu berhasil menjadi tuan rumah pertemuan akbar antar dua benua: Asia dan Afrika. Pun kemudian KAA jadi corong utama perlawanan dua benua terhadap kolonialisme dan imperialisme.

Narasi politik internasional Bung Karno tiada dunia. Ia mampu merebut perhatian dunia untuk melirik Indonesia. Negara yang baru seumur jagung itu mampu melanggengkan hajatan internasional, sekalipun dalam kondisi terbatas.

Dalam gelaran KAA, misalnya. Hajatan Internasional yang diselenggarakan pada 18-24 April 1955 di Bandung berhasil menarik perhatian dunia. Indonesia pun dianggap berhasil menyediakan ruang antara benua Asia dan Afrika dalam satu forum.

Cangkuman pesertanya beragam. Mereka yang datang ke KAA terdiri dari perwakilan 29 negara merdeka dan hampir merdeka. Partisipasi itu tak dapat dianggap remeh. Sebab, ada pesan penting yang ditawarkan dalam KAA. Apalagi kalau bukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.

Museum Konferensi Asia Afrika yang diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 24 April 1980. (asiafrikamuseum.org)

Topik itu terus disuarakan oleh utusan negara dari tiap benua. Semuanya sepakat bahwa penjajahan di dunia harus dihapuskan. Semua delegasi pun turut bersepakat dengan mendukung negara lainnya yang sedang berjuang untuk kemerdekaan.

Dampaknya KAA pun meluas. Seluruh mata seisi dunia mengarah kepada KAA. Mereka menganggap KAA sebagai hajatan yang tak dapat dianggap remeh. Pun seluruh pemberitaan terkait KAA telah diwartakan ke seluruh pelosok dunia. Utamanya terkait pesan Soekarno yang berani melawan kolonialisme.

"Kalau barongsai dari China bekerja sama dengan lembu Nandi dari India, dengan Spinx dari Mesir dengan burung merak dari Burma, dengan gajah putih dari Siam, dengan ular hidra dari Vietnam, dengan harimau dari Filipina dan dengan banteng dari Indonesia, maka pasti hancur kolonialisme internasionalisme," pekik Soekarno sebagaimana dikutip Roeslan Abdulgani dalam buku The Bandung Connection (1981).

Hajatan KAA terbilang sukses. Momentum itu dikenang luas di seantero negeri. Sekalipun Bung Karno tak lagi menjabat sebagai Presiden Indonesia. Namun, semua sepakat bahwa KAA dan hasilnya harus tetap lestari dan tetap berdiam dalam tiap sanubari rakyat Indonesia.

Inisiasi menghadirkan Museum KAA muncul. Tak lama setelahnya, Presiden Soeharto bertindak untuk meresmikan Museum KAA yang berada di sebelah Gedung Merdeka (tempat pelaksanaan KAA), Bandung, Jawa Barat pada 24 April 1980. Peresmian itu dilakukan dalam rangka peringatan 25 tahun KAA.

Pengunjung Museum Konferensi Asia Afrika mendapatkan penjelasan tentang seluk beluk museum. (asiafrikamuseum.org) 

“Museum KAA memiliki ruang pamer tetap, perpustakaan, dan ruang audio visual. Ruang pameran tetap menampilkan koleksi-koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan galeri Toto, antara lain foto dokumenter peristiwa yang mengawali penyelenggaraan KAA seperti Pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, sampai KAA tahun 1955.”

“Selain itu, dilengkapi pula dengan foto-foto peristiwa yang melatarbelakangi lahimya KAA, dampak KAA bagi dunia intemasional, Gedung Merdeka dari masa ke masa, dan orofil negara-negara peserta yang dimuat dalam multimedia. Pengunjung juga bisa menyaksikan diorama yang menggambarkan pembukaan KAA tahun 1955,” terang Her Suganda dalam buku Wisata Parijs van Java (2011).