Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 19 tahun yang lalu, 23 April 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri memberikan anugerah Satya Lencana Wirakarya dan Kebudayaan kepada insan film, Slamet Rahardjo Djarot. Anugerah itu diberikan atas sumbangsih Slamet memajukan dunia perfilman Indonesia.

Sebelumnya, apresiasi terhadap film nasional telah jauh hari dilakukan oleh ayah Megawati, Soekarno. Bung Besar bahkan memberikan restu pemutaran film Darah dan Doa (1950) di Istana Negara. Upaya itu begitu berarti bagi insan perfilman Indonesia.

Bung Karno adalah pecinta film sejati. Minimal seminggu sekali Soekarno muda kerap meluangkan waktu untuk menonton film. Sekalipun keadaan ekonomi keluarganya tak baik-baik saja. Bung Karno acap kali memiliki ajian untuk dapat menonton film.

Ia bersedia duduk di belakang layar untuk menonton film. Sebab, itulah satu-satunya kursi yang dapat dibayar kala ke bioskop. Bung Karno tak sedih. Ia menikmati tontonan dari belakang layar, walau ia harus belajar membaca teks yang ada dari kanan ke kiri. Ia pun bersyukur dapat menyaksikan film pada masa itu.

Kesukaannya akan film terus dikembangkannya ketika ia sudah jadi orang nomor satu Indonesia. Ia dalam posisi mendukung penuh insan film Indonesia memejukan perfilman nasional. Tiada kata tidak untuk itu.

Slamet Rahardjo Djarot. (VOI/Savic Rabos/Raga)

Soekarno pun memberikan ruang bagi insan film berkreasi. Meskipun mereka harus bersaing ketat dengan film dari luar negeri. Semua karena Bung Karno memahami film adalah jalan terbaik untuk menyampaikan pesan-pesan menggugah kepada khalayak umum.

Alhasil, Bung Karno pun menjadikan Istana Negara untuk pertama kalinya sebagai tempat nonton film bersama. Film yang pertama kali diputar adalah Darah dan Doa karya Usmar Ismail. Pemutaran itu jadi salah satu tonggak sejarah perfilman nasional.

“Saya masih ingat pertunjukan perdana di Istana Negara buat film Perfini yang pertama Darah dan Doa atau The Long March. Kalau tak salah, itu adalah pada pertengahan tahun 1950 dan Presiden Soekarno barulah beberapa bulan menempati Istana Negara,” terang Usmar Ismail dalam buku Usmar Ismail Mengupas Film (1983).

Dukungan terhadap perfilman nasional juga diteruskan oleh anaknya, Megawati Soekarnoputri. Kala Megawati menjabat sebagai Presiden Indonesia, ia banyak memberikan dukungan kepada insan perfilman tanah air.

Kepada sosok Slamet Rahardjo Djarot, misalnya. Megawati mengaku kagum dengan jejak Slamet dalam dunia perfilman Indonesia. Sutradara peraih dua Piala Citra masing-masing untuk film Kodrat (1987) dan Kembang Kertas (1985) mampu menunjukkan kapasitas sebagai sutradara besar.

Slamet Rahardjo Djarot saat mendapatkan penghargaan Satya Lencana Wirakarya dan Kebudayaan dari Presiden Megawati Soekarnoputri. (Dok. SCTV)

Alhasil, Megawati makin kepincut. Ia kemudian memberikan anugerah Setya Lencana Wirakarya dan kebudayaan di Istana Negara kepada Slamet pada 23 April 2004. Anugrah itu merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan negara kepada insan perfilman Indonesia.

"Saya ini seorang pekerja. Saya kadang-kadang tidak menghitung hari, minggu, atau bulan. Saya hanya bekerja dan bekerja. Tiba-tiba, saya dihitung sudah sekian tahun konsisten di film dan film saya dianggap selalu ada nilai moral budaya.”

"Tetapi buat seorang pekerja, ini semacam teguran atau peringatan bahwa saya harus tetap berkarya di mana pun, baik di teater, film, sosial, atau kehidupan lainnya," tambah Slamet Rahardjo Djarot sebagaimana dikutip Ekky Imanjaya dalam buku A to Z about Indonesian Film (2006).