JAKARTA - Pada 24 Januari 2001, untuk pertama kalinya Tahun Baru Imlek menjadi hari libur di Indonesia. Hal tersebut berdasarkan dua Keputusan Menteri Agama, masing-masing No. 13 Tahun 2001 tentang Imlek Sebagai Hari Libur Fakultatif dan No. 14 Tahun 2001 tentang Hari Libur Fakultatif Imlek Tahun 2001.
Dijadikannya Imlek sebagai hari libur tak lepas dari peran Presiden Keempat Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967 dengan mengeluarkan Keppres nomor 6 tahun 2000 tentang pencabutan Inpres Nomor 14 tahun 1967.
Inpres Nomor 14 tahun 1967 menyatakan bahwa tata-cara ibadah China yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. Artinya, perayaan Imlek di Indonesia tidak bisa dirayakan secara terbuka.
Lebih dari 30 tahun tepatnya dari 1968 sampai 1999, Pemerintah Orde Baru melarang perayaan Imlek di tempat-tempat umum di Indonesia. Mengutip artikel VOI berjudul "Imlek di Indonesia: Dilarang Soeharto, Dibebaskan Gus Dur," seluruh perayaan tradisi keagamaan etnis Tionghoa, termasuk Imlek, Capgomeh, Pehcun, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka.
Demikian juga dengan tarian-tarian barongsai dan lang-liong, yang dilarang dipertunjukkan. Bahkan pelarangan juga menyangkut pemakaian aksara China, hingga lagu-lagu berbahasa Mandarin ikut lenyap dari siaran radio.
“Bahasa, aksara, kesenian, busana China dilarang atau minimal tidak diperbolehkan. Meski ada kekecualian yang tidak dilarang, misalnya makanan, cerita, dan film silat China. Di masa Orba, perayaan hari raya Imlek praktis dilarang atau minimal tidak dibenarkan, meski diam-diam secara internal masih dirayakan di kalangan warga keturunan China,” tulis Jaya Suprana dalam Bercak-Bercak Harapan (2018).
Dengan kebijakan yang dibuat Orde Baru, kelompok Tionghoa harus mengikuti kebijakan asimilasi menyeluruh. Presiden Soeharto sendiri menyatakan bahwa warga negara Indonesia keturunan China harus segera berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia.
Namun sayangnya, asimilasi yang dimaksud Soeharto lebih mengarah ke pemilahan. Bukannya persatuan etnis Tionghoa dan orang Indonesia, kebijakan itu justru memisahkan kelompok-kelompok menjadi berbagai komunitas.
Dicabut Gus Dur
Dengan mengeluarkan Keppres nomor 6 tahun 2000 tentang pencabutan Inpres Nomor 14 tahun 1967, orang-orang Tionghoa bak memiliki awal baru di Indonesia. Masyarakat Tionghoa di Indonesia akhirnya mendapatkan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, serta adat istiadatnya. Artinya, mereka dapat melakukan upacara keagamaan untuk menyambut Imlek secara terbuka.
"Mereka adalah orang Indonesia. Tidak boleh dikucilkan, hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan," kata Gus Dur.
Mengutip Tempo, Gus Dur menindaklanjuti keputusannya dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, berlaku bagi mereka yang merayakannya. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Nomor 13 tahun 2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif. Pada 9 April 2001, Keppres No. 9/2001 dikeluarkan, yang menandakan Gus Dur meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif.
Imlek akhirnya ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri. Megawati Soekarnoputri menerbitkan Kepres No 19/2002 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.
SEJARAH HARI INI Lainnya
BACA JUGA: