Bagikan:

JAKARTA - Keluarga Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sakit hati atas adanya kudeta dan tuduhan korupsi selama memimpin Indonesia pada periode 1999-2001.

Hal itu diungkapkan istri Gus Dur, Sinta Nuriyah ditemani keempat putrinya Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, Alissa Qotrunnada Munawaroh, Inayah Wulandari dan Anita Hayatunnufus saat menghadiri Silaturahmi Kebangsaan bersama MPR RI di Gedung Nusantara V, Senayan, Jakarta, Minggu, 29 September.

Sinta mengungkapkan, berbagai tuduhan dialamatkan kepada Gus Dur melalui prosedur yang salah dan saling tabrak. Bahkan sampai detik ini, kata dia, tidak ada satupun dari tuduhan tersebut yang terbukti.

"Bagi kami yang paling menyakitkan adalah tuduhan seolah Gus Dur telah melakukan tindakan korupsi," ujar Sinta usai menerima dokumen pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 dan rekomendasi pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur dari pimpinan MPR RI, Minggu, 29 September.

Sebagaimana diketahui, Gus Dur dilengserkan karena dianggap melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN. Pasalnya ada tuduhan Gus Dur menggunakan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS serta dana Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar 4 juta dollar AS.

Sinta bersaksi, bahwa Gus Dur tidak pernah berniat memperkaya diri dan keluarga dengan melakukan tindakan korupsi. Bahkan menurutnya, seluruh rakyat Indonesia pun mengetahui itu.

"Semua orang yang mengenal Gus Dur dan saya rasa di ruangan ini banyak sekali orang yang pernah secara langsung berinteraksi dengan Gus Dur bisa bersaksi tentang kesederhanaan Gus Dur. Sampai akhir hayatnya, Gus Dur tidak pernah menumpuk harta benda," tegas Sinta.

"Lebih ironis, Gus Dur juga telah dijatuhkan karena dianggap tidak patuh pada MPR," sambungnya.

Kendati demikian, Sinta menyatakan, keluarga Gus Dur tidak pernah menyimpan dendam terhadap siapapun atas pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan. Namun keluarga berpendapat, kata dia, adalah penting bagi negara untuk meluruskan sejarah agar seluruh bangsa bisa belajar dan tidak mengulangi masalah yang sama.

"Kudeta terhadap Gus Dur merupakan peristiwa politik pertama. Ketika presiden yang terpilih secara demokratis, dijatuhkan di tengah jalan," kata Sinta.

Oleh karena itu, Sinta dan keluarga menyambut dengan senang hati keputusan MPR RI yang telah resmi mencabut Ketetapan (TAP) MPR Nomor II Tahun 2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Keluarga Gus Dur pun meminta pemerintah untuk segera merehabilitasi nama tokoh besar Nahdlatul Ulama tersebut. Menurut Sinta, pencabutan TAP MPR bisa menjadi batu pengikat, pengingat, agar peristiwa yang menimpa Gus Dur tidak terulang kembali.

"Kami berharap bisa menjadi cermin paling jernih bagi pendewasaan demokrasi bagi indonesia, agar tidak dipertahankan oleh tangan-tangan kotor," tegas Sinta.

Momentum pencabutan TAP MPR nomor II/MPR/2001 ini, tambah Sinta, juga harus dimanfaatkan untuk mendesak berlakunya demokrasi yang esensial di negara ini, bukan demokrasi prosedural yang rentan direkayasa.

Dengan begitu, menurutnya, tidak ada lagi pihak-pihak yang dapat dengan bebas melakukan rekayasa politik untuk menjatuhkan kekuasaan yang sah ataupun mengakali demokrasi untuk kepentingan diri dan kelompoknya semata.

"Apa yang terjadi pada Gus Dur, tidak boleh berlangsung lagi di negara ini. Karena itu, kami memandang dua langkah yang konkret yang bisa diupayakan setelah pencabutan TAP MPR. Pertama, nama Gus Dur segera direhabilitasi dengan mengembalikan nama baik, martabat, dan harkatnya sebagai mantan presiden," katanya.

"Kedua, segala bentuk publikasi baik buku pelajaran maupun buku-buku yang menyangkut-pautkan penurunan Gus Dur dengan TAP MPR, mesti ditarik untuk direvisi," pungkas Sinta Nuriyah.