Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 57 tahun yang lalu, 28 April 1966, Presiden Soekarno melantik Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta yang baru. Bung Karno beralasan figur Ali yang keras kepala cocok untuk melanggengkan mimpinya mempercantik Jakarta.

Kepercayaan Bung Karno pun dibayar tuntas. Pria yang akrab disapa Bang Ali jadi figur yang paling sukses memajukan Jakarta. Sebelumnya, Soekarno kerap ikut campur dalam pemilihan pemimpin Jakarta. Ia pernah memilih Gubenur dari ragam kalangan. Dari politikus hingga seniman.

Jakarta adalah pusat perjuangan bangsa Indonesia. Itulah narasi yang kerap dilantunkan oleh Bung Karno. Ia pun kerap melanggengkan upaya mempercantik Jakarta. Bangunan-bangunan monumental digagasnya. Demikian pula dengan patung dan monumen.

Ia tak pernah berhenti untuk terus membangun Jakarta. Sebab, Jakarta adalah wajah utama Indonesia. Barang siapa yang datang ke Indonesia, maka Jakarta menjadi gerbang negara. Bung Karno tiada keraguan untuk itu. Sekalipun kondisi ekonomi Indonesia sedang morat-marit.

Sederet pembangunan Jakarta itu kemudian dikenang sebagai proyek mercusuar Orde Lama. Namun, Bung Karno tak mampu mencurahkan seluruh waktunya untuk membangun Jakarta. Ia butuh pemimpin daerah yang berpikiran sama dengannya.

Ali Sadikin meninjau sebuah proyek saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. (Perpusnas)

Karenanya, Bung Karno kerap ikut campur dalam penentuan pemimpin Jakarta. Ia ingin Jakarta dipimpin oleh orang yang memiliki integritas dan mimpi besar. Bung Karno pun pernah memilih pemimpin Jakarta dari ragam kalangan. Dari politikus hingga Seniman. Semuanya dilakukan supaya Jakarta sejajar dengan ibu kota negara besar di dunia.

“Dipenuhi dengan metafora maskulin, Bung Karno percaya pada keperluan ibu kota untuk menjadi monumental. Tata negara yang stabil memerlukan simbol-simbol kota yang mantap. Bagi Soekarno, struktur-struktur representatif ibu kota negara yang benar-benar dibutuhkan Jakarta.”

“Monumen-monumen seperti itu merupakan keharusan, bukan merupakan sesuatu yang mewah: celana dan bukan dasi. Bagi Bung Karno, problem-problem identitas ialah problem-problem sehari-hari," ujar Abidin Kusno dalam buku Di Balik Pascakolonial: Arsitektur, Ruang Kota dan Budaya Politik di Indonesia (2006).

Pilihan Soekarno untuk memimpin Jakarta pun banyak. Namun, banyak di antaranya tak dapat memuaskan hasrat Bung Karno mempercantik Jakarta. Henk Ngantung dari kalangan seniman, misalnya. kepemimpinannya kurang memuaskan hati Soekarno.

Bung Karno mulai melirik kalangan militer. Nama Ali pun muncul. Namun, orang dekat Soekarno menganggap Ali adalah figur yang keras kepala. Ali dianggap kurang cocok memimpin Jakarta. Bung Karno pun memiliki pendapat lain. Sosok Ali dianggapnya figur yang cocok memimpin Jakarta karena keras kepala. Bung Karno lalu melantik Ali sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 28 April 1966. Ali kemudian menjelma menjadi sosok yang paling berhasil memimpin Jakarta. 

“Sifat koppig (keras kepala) itu pula yang menyebabkan Presiden Soekarno menjadikan Ali Sadikin Gubernur DKI Jakarta. Beberapa calon diajukan. Semua ditolak. Sampai Waperdam Dr. Leimena berkata: ada Ali Sadikin, tapi dia orang keras kepala. Bung Karno berkata, justru untuk mengurus Jakarta diperlukan een beetje koppigheid, sedikit kepala batu."

"Maka, Ali Sadikin tanggal 28 April 1966 dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam pakaian seragam Mayor Jenderal Korps Komando (KKO) Angkatan Laut serba putih, sebab ia masih dalam dinas aktif ABRI,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia jilid 3 (2009).