Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 46 tahun yang lalu, 20 Juni 1977, Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Dipo Alam (Kimia FIPIA-UI) dan Bambang Sulistomo (Politik FIS-UI) membuat heboh seantero negeri. Mereka mengajukan petisi yang mencalonkan Ali Sadikin sebagai calon Presiden RI untuk Pemilu tahun 1978.

Sebelumnya, hubungan Ali dan Soeharto tak pernah baik-baik saja. Ali menjelma jadi salah satu kepala daerah yang mampu menolak disetir Soeharto. Apalagi kemudian Soeharto kalah populer ketimbang Ali.

Sikap keras kepala Ali Sadikin sudah diwanti-wanti jauh hari. Ia diramalkan sulit untuk disetir oleh banyak pihak. Fakta itulah yang membuat Bung Karno kepincut kepada Ali pada 1966. Orang nomor satu Indonesia itu langsung mengangkat Ali sebagai Gubernur DKI Jakarta yang baru.

Keputusan Bung Karno membawakan hasil. Jakarta banyak berbenah berkat kepemimpinan Ali Sadikin. Keberhasilan itu bahkan ikut dicicipi era pemerintahan Soeharto dan Orde Baru (Orba). Kepemimpinan Ali Sadikin dipandang berhasil. Sekalipun Ali kerap melanggengkan kontroversi seperti melegalkan perjudian dan prostitusi.

Ali pun diberikan kesempatan menjabat untuk periode dua hingga 1977. Ali hanya butuh waktu 38 bulan menjabat hanya untuk mendirikan 200 gedung sekolah. Suatu jumlah yang besar dibanding sekolah yang didirikan 20 tahun sebelumnya di Jakarta.

Ali Sadikin menerima tamunya saat menjadi Gubernur DKI Jakarta 1966-1977. (Perpusnas)

Kehidupan pejabat pemerintah DKI Jakarta juga ikut diperhatikan Ali Sadikin. Ia memberikan mereka fasilitas penunjang yang besar. Supaya mereka tak makan uang rakyat. Langkah itu membuat kepemimpinan Ali dipuja-puja di seantero negeri.

Prestasinya nyata dan dapat dirasakan khalayak umum. Popularitasnya tambah tinggi kala ia muncul sebagai figur yang tak dapat disetir oleh Soeharto untuk memuluskan agenda Orba.

“Saya coba susun sebuah daftar (prestasi Ali Sadikin) dari luar kepala: Jalan H.R. Rasuna Said, Jalan Casablanca, Taman Ismail Marzuki, sejumlah gelanggang remaja, taman hiburan di Pantai Ancol, sebuah pusat perfilman, Museum Tekstil, Museum Wayang, Museum Seni Rupa, stasiun bus kota, halte, lampu-lampu lalu lintas, taksi, taman-taman kecil,kampung-kampung yang dihubungkan dengan jalan yang rapi. Mereka yang lahir atau datang terlambat di kota ini tak akan merasakan proses yang menakjubkan dari ‘tak-ada’ menjadi ‘ada’ itu,” tutup Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Aladin (2008).

Belakangan, Soeharto dan Orba kelimpungan. Popularitas Ali kian meningkat. Orba pun tak tinggal diam. Empunya kuasa lalu mencopot Ali dari jabatan Gubernur DKI Jakarta. ia digantikan oleh Tjokropranolo.

Namun, pemecatan itu tak serta merta membuat popularitas Ali menurun. Ali bahkan diajukan oleh Mahasiswa UI, Dipo Alam dan Bambang Sulistomo sebagai calon Presiden Indonesia lewat petisi bertanggal 20 Juni 1977.

Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin mendampingi Presiden Soeharto dan Ibu Tien dalam pembukaan Pekan Raya Jakarta I 1968. (Buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977/Ramadhan K.H.)

Kehadiran petisi itu menghebohkan seantero negeri. Orba, utamanya. Langkah itu dipandang bak makar. Namun, Ali memiliki pandangan lain. Baginya, setiap warga negara berhak menyatakan pendapat. Pun tiada aturan yang menegaskan pernyataan pendapat sebagai bentuk kejahatan.

“Dipo Alam dan Bambang Sulistomo keluar dengan satu petisi. Mereka mengajukan seorang calon untuk diikutsertakan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Sidang Umur MPR di bulan Maret 1978. Yang mereka ajukan adalah saya. Lalu kedua orang itu mengirimkan petisi mereka itu ke mana-mana. Kepada pimpinan MPR dan DPR, DPRD DKI Jaya, Kaskopkamtip, pimpinan parpol, Golkar, ABRI, dan LBH DKI Jaya.”

“Maka ributlah orang. Reaksinya, saya perkirakan, cukup besar. Tenyata Dipo Alam adalah bekas Ketua Umum DM-UI, mahasiswa kimia FIPIA-UI yang tinggal menulis skripsi waktu itu. Bambang Sulistomo adalah anak Bung Tomo, mahasiswa politik FIS-UI tingkat akhir yang pernah ditahan sehubungan dengan peristiwa Malari,” terang Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).