Bagikan:

JAKARTA - Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah ritual tersakral dalam sejarah bangsa. Soekarno dan Hatta mewakili segenap rakyat Indonesia meneriakkan kata merdeka. Seisi Nusantara menyambutnya dengan gegap gempita. Bung Karno, utamanya.

Bung Besar sampai enggan menghadiri pengakuan kedaulatan di Istana Dam atau Istana Rijswijk (sekarang: Istana Negara). Baginya, Indonesia sudah merdeka dan tak perlu penyerahan kedaulatan. Sesuai semboyan revolusi: sekali merdeka, tetap merdeka.

Penjajahan kerap membawa kesengsaraan dan kesedihan. Di Nusantara, apalagi. Penjajah Belanda, kemudian Jepang muncul untuk mengambil segala macam kekayaan alam Nusantara. Alih-alih hanya kekayaan alam saja, kaum bumiputra juga ikut diperas tenaganya bak sapi perah.

Mereka ditekan untuk melanggengkan suatu kerja paksa. Kesengsaraan itu membuat amarah kaum bumiputra meninggi. Segala macam perjuangan dengan ragam ideologi dimunculkan. Dari kaum nasionalis, agama, hingga komunis. Dari kaum ulama, buruh, hingga terpelajar. Ideologi boleh berbeda, namun tujuannya tetap satu: Indonesia merdeka.

Rangkuman perjuangan itu mulai mendapatkan hasil pada saat Jepang mulai menjajah Indonesia. Pejuang kemerdekaan menganggap penjajahan Jepang adalah momentum tepat untuk melanggengkan narasi Indonesia merdeka.

Proklamator kemerdekaan sekaligus Presiden pertama Indonesia, Soekarno. (ANRI)

Jepang pun melihat geliat itu. Negeri Matahari Terbit segera memanfaatkan momentum dengan menjanjikan kemerdekaan. Alih-alih menunggu Jepang memberikan kemerdekaan, kaum pejuang justru bergerak sendiri.

Golongan tua dan golongan muda dipaksa berkumpul. Alhasil, keduanya bersepakat Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Soekarno dan Mohammad Hatta didaulat sebagai pemimpin bangsa yang mewakili Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sekalipun upacara itu berlangsung sederhana.

“Aku berjalan ke pengeras suara hasil curian dari stasiun radio Jepang dan dengan singkat mengucapkan proklamasi itu. istriku telah membuat sebuah bendera dari dua potong kain. Sepotong kain putih dan sepotong kain merah. Ia menjahitnya dengan tangan. Inilah bendera resmi yang pertama dari republik. Tiang benderanya berupa batang bambu panjang yang ditancapkan ke tanah beberapa saat sebelum itu. buatannya kasar. Dan tidak begitu tinggi.”

“Tidak ada orang yang ditugaskan mengibarkan bendera Merah Putih keramat itu. Tidak ada persiapan untuk itu. Dan tidak seorang pun berpikir sejauh itu. Latif Hendraningrat, satu dari beberapa hadirin yang memakai seragam, berada dekat tiang. Setiap orang menunggu dengan tegang ketika dia mengambil bendera itu , mengikat pada tali yang kasar dan kusut, dan mengibarkannya seorang diri dengan kebanggaan untuk pertama kali setelah tiga setengah abad,” terang Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014).

Sikap Bung Karno

Boleh jadi upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung dengan sederhana. Namun, momentum itu nyatanya berdiam terus dalam sanubari para pemimpin bangsa. Bung Karno, apalagi. Ia merasa momentum Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai momentum yang tak terlupakan dalam hidupnya.

Ia dan pejuang kemerdekaan lainnya telah berhasil membawa Indonesia merdeka. Bung Karno pun berkumandang sekali merdeka tetap merdeka. Narasi itu kemudian jadi semboyan revolusi. Artinya, apapun langkah yang diambil penjajah Belanda, Indonesia akan berjuang sampai titik darah penghabisan.

Benar saja. Penjajah Belanda merasa Indonesia harus direbut untuk dijajah kembali. Mereka pun membonceng sekutu Inggris untuk mengepung kaum bumiputra. Namun, Bung Karno tidak gentar dengan kedatangan penjajah Belanda berbaju Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (NICA).

Kedatangan NICA jadi pemantik Indonesia untuk mengambil jalur perang. Kemudian, memainkan pula strategi diplomasi. Rentetan diplomasi yang dilakukan nyatanya mampu membawa kabar gembira. Banyak negara yang simpati dengan Indonesia.

Konferensi Meja Bundar pada 1949 jadi puncak. Hajatan itu membuat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kesepakatan penandatanganan perjanjian penyerahan kedaulatan direncakan dilanggengkan di dua tempat pada 27 Desember 1949. Istana Dam di Amsterdam dan Istana Rijswijk di Jakarta.

Bung Karno tidak menganggap pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949 bukan hal penting. (ANRI)

Namun, sikap Bung Karno berbeda dari tokoh bangsa lainnya. Ia tak terlalu antusias dengan momen penyerahan kedaulatan. Baginya, Indonesianya sudah merdeka pada 17 Agustus 1945. Sepertinya katanya: Sekali merdeka tetap merdeka.

Ia pun tak merasa perlu acara seremonial semacam itu. Ia tak peduli Belanda tak mau mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sekalipun kemudian Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 pada tahun 2023.  

“Saya jawab karena secara formal Bung Hatta selaku Wapres dan PM yang memimpin delegasi Indonesia dalam KMB. Bung Karno menganggap kita sudah merdeka, buat apa itu penyerahan kedaulatan? Untuk tambahan informasi bagi para pendengar saya bercerita permah bertanya kepada Hatta, apakah yang penting dalam hidupnya, apa highlights dari kariernya? Bung Hatta menjawab dua hal.”

“Pertama saya ko-proklamator kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kedua, saya yang menerima penyerahan kedaulatan. Hatta dalam pidato sambutannya pada upacara penyerahan kedaulatan dengan nada bangga dan suara nyaring menegaskan rakyat Indonesia sudah merasa lega dengan lenyapnya kolonialisme di Indonesia dan dengan susunan hukum baru berdasarkan Pancasila,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Napak Tilas ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 (2010).