Patung Pahlawan di Tugu Tani yang Katanya PKI
Patung Pahlawan (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Di antara monumen dan patung yang dibangun Soekarno, Patung Pahlawan atau yang lebih dikenal Tugu Tani muncul sebagai yang paling kontroversial. Patung Pahlawan adalah simbol kepahlawanan. Di waktu yang sama, Patung Pahlawan juga memancing resistensi dari mereka yang menganggapnya sebagai simbol negatif komunisme.

Irjen Departemen Luar Negeri Sarwo Edhie Wibowo, pada 1982 meminta Gubernur Jakarta Soemarno Sosroatmodjo --yang memimpin Jakarta selama dua periode (1960–1964) dan (1965–1966)-- untuk memuseumkan patung yang jadi ikon kawasan Menteng, Jakarta Pusat itu. Mantan Komandan RPKAD itu menyebut patung berbentuk petani yang menyandang bedil dengan sangkur terhunus dan pistol itu sama sekali tak mewakili petani Indonesia.

Sarwo Edhie menilai gambaran dalam patung sebagai pengejawantahan petani yang dipersenjatai. PKI angkatan kelima, di mata Sarwo Edhie.

“Patung itu patung Pak Tani Komunis. Mana ada petani kita sikap angkuhnya begitu. Tidak ada! Di Indonesia mana ada petani yang angkuh? Petani kita sopan-sopan," kata Edhie, dikutip dari laporan Majalah Tempo berjudul Setelah 17 Tahun, Debat Patung (1982) menceritakan bagaimana Sarwo Edhie menolak patung pemberian pemerintah Uni Soviet itu.

“Kalau patung Pak Tani BTI (Barisan Tani Indonesia) -- organisasi terafiliasi dengan PKI, apa harus kita pasang terus?” tambah Edhie.

Namun, komentar tersebut langsung dijawab Wakil Presiden Indonesia Adam Malik. Ia menyangsikan hal itu. Adam Malik yang terlibat dalam proses terwujudnya patung memberi gambaran yang sebenarnya. Kata Adam Malik, patung tersebut justru mengabadikan pejuang kemerdekaan merebut Irian Barat pada 1960-1962.

Sejarah patung Pak Tani

Menurut Adam Malik, Patung Pahlawan sudah disiapkan jauh sebelum meletusnya pemberontakan G30S/PKI. Artinya, salah besar jika Patung Pahlawan disebut berbau angkatan kelima PKI. Adam Malik yang kesal bahkan bercerita terkait awal mula ide gagasan Patung Pahlawan.

Adam Malik mengisahkan bahwa gagasan itu muncul saat Bung Karno mengunjungi Uni Soviet pada 1960. Bung Karno yang terpukau dengan monumen dan patung yang ada di Uni Soviet langsung meminta Adam Malik –-yang kala itu menjabat sebagai Dubes Di Moskow— untuk mencari pematung kesohor asal Rusia, Matvei Manizer. Di tangan Manizer Bung Karno hendak menitipkan agenda pembuatan patung perjuangan pembebasan Irian Barat.

"Dengan demikian patung tersebut bukan hadiah atau hasil pemikiran orang Soviet, melainkan pesanan dan pemikiran Bung Karno sendiri," Adam Malik.

Bahkan, diceritakan, gambar dan bentuk patung merupakan inisiasi Bung Karno sendiri. Bung Karno memiliki ide saat itu untuk membuat patung seorang ibu yang rela dan bergembira melepaskan pejuang untuk merebut Irian Barat. Dalam adegan perpisahan itulah sang ibu memberi sebungkus nasi kepada pemuda pejuang yang akan berangkat ke medan juang. Namun, seluruh gambaran itu masih berbentuk coretan kasar.

Patung Pahlawan (Sumber: Commons Wikimedia)

Semua itu telah diagendakan Bung Karno karena Belanda belum memiliki itikad baik dalam mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia, selepas penyerahan kedaulatan pada 1949. Kelak, Bung Karno mengamatkan Trikora di Yogyakarta pada 19 Desember 1961.

“Sekarang saya tanya kepada saudara-saudara, kepada dunia internasional, mengapa pihak Belanda menjadikan Irian Barat sebagai boneka Papua. Belanda menghasut rakyat Irian barat menjalankan satu poliik memecah belah kedaulatan RI dengan mendirikan Negara Papua, mengibarkan bendera Papua, menciptakan lagu kebangsaan zoogenamde,” penggalan isi pidato Trikora Soekarno kala itu.

Soekarno menitikberatkan tiga hal dalam pidatonya. Pertama, gagalkan pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan kolonial Belanda. Kedua, kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia. Ketiga, persiapkan mobilasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Dikutip Maulwi Saelan, dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 (2001), sambutan rakyat atas Trikora yang dilantangkan Bung Karno sangat luar biasa. Alhasil, ribuan rakyat meminta secara sukarela agar dikirim ke Irian Barat untuk berjuang atas nama bangsa Indonesia.

Pada akhirnya, Bung Karno pun tak hanya menginisiasi satu patung saja sebagai bentuk perjuangan pembebasan patung Irian Barat. Patung Pembebasan Irian Barat dibuat oleh seniman Yogyakarta, Edhi Sunarso. Kami pernah mengulasnya dalam tulisan “Monumen Pembebasan Irian Barat yang Personal bagi Soekarno”. Satunya lagi digubah oleh Matvei Manizer untuk membuat Patung Pahlawan.

Lantaran kepincut karya Manizer, tak lama Bung Karno mengundang Manizer ke Indonesia untuk mencari inspirasi. Manizer pun datang ke Indonesia bersama anaknya, Otto yang akan membantunya merealisasikan Patung Pahlawan. Tak lama kemudian, keduanya menjadikan cerita rakyat Jawa Barat tentang seorang ibu yang mengantar anaknya pergi berjuang di medan perang sebagai inspirasi.

“Manizer dan Otto terinspirasi cerita rakyat dari Jawa Barat, yaitu kisah mengenai seorang ibu yang mengantar anaknya pergi berjuang dan memberikan bekal berupa nasi pada anak laki-lakinya. Mereka lalu membuat patung pahlawan dalam bentuk Pak Tani dari bahan perunggu,” ungkap Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).

Singkat cerita, patung ini didirikan di Taman Menteng Prapatan dan diresmikan Bung Karno pada 1963. Seperti diramalkan, sejak didirikan Patung Pak Tani banyak mengundang kritik. Misalnya, terkait potongan badan dan raut muka keduanya model patung lebih mirip orang Kaukasia ketimbang orang Indonesia. Kendati demikian, Firman Lubis yang telah hidup di Menteng sejak 1950-an, menganggap hal itu suatu kewajaran, supaya terlihat lebih gagah dan bisa menginspirasi.

Terlepas dari segala perdebatan, buktinya patung ini masih menghiasi kawasan Menteng hingga hari ini. Segala komentar miring terkait patung, nampaknya akan terbungkam dengan sebuah plakat di dekat patung yang bertuliskan pesan dari Putra Sang Fajar, Bung Karno: Bangsa yang menghargai pahlawannya adalah bangsa yang besar.