JAKARTA - Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah fenomena. Setiap akhir September. film Arifin C. Noer rilisan 1984 selalu jadi bahasan. Putra keempat Ketua Central Committee (CC) PKI Dipa Nusantara (DN) Aidit, Ilham Aidit menyangsikan kebenaran dalam film. Baginya, film itu tak lebih dari thriller dengan muatan fiksi di dalamnya.
“Film itu jelas adalah propraganda Orde Baru (Orba) untuk mendapat legitimasi bahwa apa yang mereka lakukan ketika membantai ratusan ribu orang itu benar yang mereka lakukan, maka lihatlah film ini. Itu propaganda,” ungkap Ilham, dalam sebuah video wawancara bersama era.id, dikutip Kamis, 1 Oktober.
Untuk menguatkan pendapatnya, Ilham berpegang teguh pada pendapat dari istri sang sutradara, Jajang C.Noor. Kata Jajang film itu memang dipesan oleh empunya kekuasaan. Lewat dana ratusan juta di tahun 1982, film itu dikemas dengan perspektif kuat dari kubu penguasa.
Sang sutradara sempat mengatakan, kesulitan menemukan orang PKI di masa proses produksi jadi alasan kenapa film itu terasa begitu pemerintah. Ilham tak percaya. Bahkan ia menyebut hal itu sebagai omong kosong. Ilham mengatakan, pada tahun 1982 sudah banyak sekali tahanan politik yang bebas, baik mereka yang dari Pulau Buru akibat tekanan Amnesty Internasional ataupun mereka yang ditahan di penjara daerah.
Di mata Ilham, film itu memang sejak awal dibuat untuk propaganda. Sebab, kalau sang sutradara mau usaha, maka Arifin C. Noer bisa mendapat sisi lain Gerakan 30 September (G30S) dari dirinya ataupun ibunya yang notabene istri mendiang pemimpin PKI D.N. Aidit.
Selain permasalahan narasumber, film diperparah dengan klaim sepihak yang menyebutkan karya Arifin C. Noer sebagai dokumenter. Lainnya menyebut film itu sebagai film sejarah. Padahal, sisi dokumenter film hanya bisa kita lihat di 3-5 menit terakhir, dalam bagian adegan ketika jenazah tujuh jenderal revolusi diarak dan dimakamkan. Selebihnya, film itu hanya fiksi.
“(Bisa jadi) Pembuat film tentu tidak mencari saya, tetapi mencari ibu saya misalnya. Mencari kawan-kawan ayah saya, harusnya seperti itu. Tapi mereka tidak melakukan itu, mereka tidak menghubungi orang-orang mantan komunis yang lepas dari tahanan untuk ditanyakan, diverifikasi. Tapi gak ada upaya itu. Sepenuhnya itu adalah imajinasi dari Arifin C.Noer sebagai sutradara yang coba mengikuti pesanan dari Orba ketika itu,” ujarnya.
Kekeliruan
Kata Ilham, terlalu banyak alur cerita dalam film yang tak sesuai dengan fakta sejarah. Paling sederhana, D.N. Aidit merokok. Sebagai anak, Ilham mengatakan hal itu seratus persen tidak benar. Memang Aidit tampak beberapa kali terlihat memegang rokok. Kendati demikian, bapaknya tak pernah cocok dengan tembakau.
Keterangan dari sang ibu pun menyebutkan hal yang sama. Ibunya mengungkap suaminya sama sekali bukan perokok. Hanya saja, Aidit terlihat beberapa kali merekok hanya untuk solidaritas kepada kawan-kawannya, mulai dari Soekarno, Che Guevara, Fidel Castro dan kawan-kawannya di Rusia yang terkenal sebagai penikmat rokok.
Bentuk fiksi lainnya terletak pada kehadiran Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan Pemuda Rakyat di Lubang Buaya. Dalam film, Gerwani dan Pemuda Rakyat dicitrakan seolah hadir dalam malam penculikan. Ratusan orang dari kedua organisasi digambarkan begitu larut dalam malam gila-gilaan, sembari melakukan tarian harum bunga dan mengumandangkan genjer-genjer.
Menurut Ilham, empunya film tak akan bisa menjawab siapa saja orang dari Gerwani atau pemuda Rakyat yang terlibat. Selain itu, seorang polisi piket bersepeda, Soekitman yang menyaksikan langsung pemakaman di Lubang Buaya menyatakan tak ada tarian ataupun nyanyian sama sekali. Suasana malam itu hanya sunyi.
“Jadi ada banyak cerita dalam film itu yang tidak sesuai dengan apa yang pernah terjadi. Itu sama sekali bukan film sejarah menurut saya, itu film thriller biasa. Memang ada kelebihannya. Film itu dibuat sedemikian rupa, sampai pencahayaannya, suaranya dibuat dengan akurat benar, dengan perhitungan baik sebagai sebuah film secara sineas itu memang menarik. Tetapi disebut sebagai sejarah, no way! Sebagai film dokumenter, no way!”
G30S yang sebenarnya
Ilham turut bicara mengenai G30S, sejarah bangsa yang dikenal begitu kelam. Kata Ilham, secara propaganda orang-orang dipaksa untuk melirik kekejaman pembantaian jenderal pada tangal 30 September oleh PKI. Padahal, ada banyak sekali versi terkait G30S yang harus ditelusuri kembali kaitannya dengan PKI.
“Artinya, bicara soal peristiwa itu, siapa pelakunya, siapa ini dan sebagainya itu ada 4-6 versi, kira-kira. Dan itu masih sangat kontroversial. Yang tidak kontroversial adalah dampak dari peristiwa itu. Jadi yang satu masih kontroversial, jadi ini adalah peristwa lanjutan dampaknya itu tidak kontroversial. Tetapi orang enggan sekali, negara kita ini, enggan sekali berbicara tentang dampak itu,” kata Ilham.
Ilham mencontohkan dampak dari peristiwa yang enggan diulas sampai saat ini adalah ketiks ratusan ribu orang dibunuh. Ratusan ribu lain yang dianggap simpatisan PKI dipenjarakan, dijarah haknya, rumahnya dirampas, diperkosa, dan dihilangkan secara paksa. Itulah yang menurut Ilham tak pernah berani benar-benar dibuka sampai hari ini.
“Begini, kita lihat pada awal-awal setelah peristiwa itu terjadi bahkan sebelum reformasi itu selalu disebutkan bahwa PKI adalah dalang tunggal, yaitu adalah versi yang mashyur, PKI adalah dalang tunggal. Tetapi dari kira-kira 60-70-an, buku, baik penulis dalam negeri maupun luar negeri, mungkin sekarang sudah ada seratus buku. Itu mulai terlihat bahwa sebetulnya versi pertama yang mashyur itu, yang dipaksakan untuk menjadi versi resmi negara itu sebetulnya banyak hal yang perlu diragukan,” Ilham.
Berdasar hal itu, merunut apa yang didapat para peneliti asing, sebetulnya peristiwa G30S membuka kemungkinan untuk pengungkapan cerita-cerita lain. Boleh saja pemerintah menggembar-gemborkan PKI sebagai dalang tunggal peristiwa G30S pada versi pertama. Tetapi, ada pula versi kedua yang menyebut tidak adanya keterlibatan PKI sebagai dalang. Bahwa G30S adalah konflik internal dalam tubuh Anggatan Darat (AD) Republik Indonesia.
BACA JUGA:
Anak keempat dari Aidit ini mendasari asumsinya dengan versi sejarah bahwa AD menjadi institusi yang paling sering mengalami konflik internal. Beberapa di antaranya meletuskan pemberontakan DI/TII, Permesta, Kudeta Militer Zulkifli Lubis. Semua itu menunjukkan AD paling sering berkonflik dengan atasannya maupun pemerintah.
Ada pula versi lain yang menyebutkan Soekarno yang menjadi dalang dari semuanya. Namun, Ilham kurang mempercayai hal itu. Ilham yakin Soekarno adalah orang yang sangat mencintai persatuan dan memiliki cita-cita yang luhur untuk bangsa dan negara. Dalam versi keempat beda lagi. CIA di situ disebutkan sebagai dalang dari G30S. Versi ini cukup populer, dan pada perjalanannya banyak mengandung fakta sejarah.
“Jadi apa yang saya yakini secara pribadi? Satu, bahwa ini dimulai oleh konflik internal AD. Apakah Aidit terlibat? Aidit tidak terlibat. Bahwa Aidit tahu ada konflik internal AD? Dia tahu tapi bukan tanggung jawab dia, bukan tugas dia untuk menghentikan konflik itu dan dia gak punya wewenang untuk menghentikan konflik itu,” tutup Ilham.