Serangan 9/11 yang Memicu Sentimen Anti-Muslim di Amerika Serikat
Gedung WTC di New York (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini, tepat 19 tahun yang lalu, peristiwa 11 September 2001 atau 9/11 terjadi dan tak terlupakan. Salah satu serangan paling mematikan di tanah Amerika Serikat (AS) sejak Jepang mengebom Pearl Harbor dalam Perang Dunia II menanam memori buruk. Sejak itu, AS berubah.

Dilaporkan, hampir 3.000 orang tewas dalam serangan 9/11. The New York Times menyebut serangan tersebut sebagai "serangan teror terburuk dan paling berani dalam sejarah Amerika." Para teroris membajak pesawat dan menabrakkan jet-jet itu ke menara World Trade Center di New York.

Menara Kembar yang megah dan gagah pun berubah diliputi dalam badai abu, kaca, asap dan tubuh-tubuh yang melompat, menghindari satu kematian ke kematian lain. Tak cuma dua pesawat di WTC. Pesawat jet ketiga menabrak Pentagon di Virginia.

Serangan tersebut tampak terkoordinasi dengan cermat. Semua pesawat yang dibajak sedang dalam perjalanan ke California. Kondisi pesawat telah dipenuhi bahan bakar dengan jarak keberangkatan satu jam 40 menit.

Pesawat pertama adalah American Airlines Flight 11. Boeing 767 itu berangkat dari Boston menuju Los Angeles, jatuh ke menara utara pada jam 8.48 pagi waktu setempat. Selang 18 menit kemudian, United Airlines Flight 175 dari Boston menuju Los Angeles menabrak menara selatan.

Ledakan WTC (Sumber: Commons Wikimedia)

Presiden George W. Bush berpidato di depan Kongres. Dia mengajukan kasus untuk tanggapan militer jenis baru; bukan serangan udara yang ditargetkan pada satu fasilitas pelatihan atau bunker senjata, tetapi 'perang melawan teror' (the war on terror) secara global dan luas.

"Perang kami melawan teror dimulai dengan al Qaeda, tetapi tidak berakhir di sana," kata Bush. “Ini tidak akan berakhir sampai setiap kelompok teroris global ditemukan, dihentikan dan dikalahkan.”

Melansir History, ketika pasukan AS menginvasi Afghanistan kurang dari sebulan setelah 9/11, mereka meluncurkan kampanye militer berkelanjutan terlama dalam sejarah AS. Pertempuran di Afghanistan mendapat dukungan dari rakyat AS dan dukungan dari sekutu NATO untuk membongkar al Qaeda, menghancurkan Taliban dan membunuh Osama bin Laden, orang yang disebut sebagai dalang 9/11.

Dukungan AS untuk kampanye 'the war on terror' berlanjut selama bertahun-tahun. Operasi belakangan juga menargetkan beberapa sel teroris di seluruh dunia. Ribuan tentara AS tewas dalam dua dekade pertama, dengan begitu banyak pasukan lain yang pulang dengan luka fisik dan psikologis. Namun bayangan 9/11 selalu ada, membuat pasukan AS tetap bertahan di Afghanistan dan di tempat lainnya selama hampir 20 tahun.

Osama bin Laden dan penasihatnya, Ayman al Zawahiri (Sumber: Commons Wikimedia)

Paranoid

Tak cuma dari segi keamanan. Peristiwa 9/11 juga benar-benar mengubah masyarakat AS. Diketahui, aspek paling memilukan dari serangan 9/11 adalah bahwa 19 pembajak dapat menguasai pesawat komersial dengan membawa senjata dan mampu masuk kokpit.

Jelas, 9/11 adalah kegagalan aparat intelijen dalam mengidentifikasi penyerang. Peristiwa 9/11 juga berarti kegagalan sistem keamanan bandara. Sebelum 9/11, banyak orang tidak harus memiliki tiket untuk berkeliling bandara atau menunggu di pintu gerbang. Bahkan, tak ada yang memeriksa identitas penumpang sebelum naik pesawat.

Satu-satunya barang yang harus dikeluarkan orang ketika melewati keamanan adalah uang receh. Kini pemeriksaan ketat dilakukan, mulai dari pemindaian tas, koper, hingga pengecekan identitas dengan tiket.

Sentimen agama

Hanya empat hari setelah peristiwa 9/11, seorang pria bersenjata di Mesa, Arizona melakukan penembakan. Pertama, dia menembak dan membunuh Balbir Singh Sodhi, pemilik SPBU keturunan India. Meski demikian, Sodhi adalah Sikh dan memakai sorban.

Pria bersenjata itu mengira Sodhi adalah Muslim. Beberapa menit kemudian, pria bersenjata itu menembak petugas SPBU lain keturunan Libanon. Namun, meleset. Ia kemudian menembak keluarga Afghanistan-Amerika lewat jendela.

Sentimen terhadap Muslim begitu parah menjangkiti warga AS. Banyak orang di AS dan seluruh dunia masih memandang serangan 9/11 sebagai aksi Islam. Dengan landasan pikiran itu mereka berusaha membalas dendam kepada siapa pun yang tampak Muslim, bahkan ketika politikus dan penegak hukum berulang kali menyatakan bahwa Islam adalah agama damai yang ajaran sejatinya telah dipelintir oleh ekstremis teroris.

Pada 2000, hanya ada 12 serangan anti-Muslim yang dilaporkan ke FBI. Pada 2001, jumlah itu melonjak menjadi 93. Ketika organisasi kebebasan sipil mengkritik TSA dan penegakan hukum atas profil rasial laki-laki Arab dan Muslim, kejahatan rasial terhadap Muslim terus berlanjut.

Menurut data statistik dari FBI, terdapat laporan 91 serangan dengan motivasi anti-Muslim pada 2015. Lalu pada 2016, jumlah kasus menjadi 127, melampaui jumlah kasus serangan oleh anti-Muslim pada 2001.

Serangan 9/11 juga menimbulkan gerakan anti-Semit, walaupun tidak semasif gerakan anti-Muslim. Serangan yang terjadi kebanyakan berasal dari teori konspirasi yang mereka percaya terkait terjadinya 9/11.

Pada September 2019, sebuah batu di tengah Universitas Tennessee-Knoxville yang dilukis dengan pesan-pesan inspiratif ditutupi dengan pesan yang menuduh orang-orang Yahudi berada di balik serangan 9/11. Grafiti yang dilukis di batu berbunyi: Orang Yahudi melakukan 9-11. Google: Dancing Israelis.

Pada Agustus 2019, orang tak dikenal menyebarkan selebaran anti-Semit yang mengatakan bahwa orang Yahudi dan Israel berada di balik serangan 9/11. Selebaran tersebut tersebar di Novato, California Utara.

Selebaran itu mengatakan bahwa orang Israel terlihat menari di Menara WTC yang runtuh. Seorang pria Yahudi-Israel menghasilkan miliaran uang asuransi dan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memuji serangan itu. Di bagian bawah halaman tertulis, "Sadarlah, AS!"