Mengapa Narasi 'Taliban' Animasi <i>Nussa</i> Ala Eko Kuntadhi Membahayakan Kerukunan Kita
Ilustrasi film Nussa (Sumber: Twitter)

Bagikan:

JAKARTA - Pegiat media sosial, Eko Kuntadhi menyulut kontroversi di linimasa Twitter. Ia menyinggung film Nussa sebagai citra dari identitas Taliban karena tokoh utama yang berpakaian gamis dan berkerudung. Narasi semacam ini mirip dengan stereotip diskriminatif umat Muslim di negara Barat.

"Apakah ini foto anak Indonesia? Bukan. Pakaian lelaki sangat khas Taliban. Anak Afghanistan," kata Eko lewat akun Twitternya @eko_kuntadhi.

"Tapi film Nusa Rara mau dipromosikan ke seluruh dunia. Agar dunia mengiran, Indonesia adalah cabang khilafah. Atau bagian dari kekuasaan Taliban. Promosi yang merusak!" 

Unggahan tersebut ramai direspons warganet. Kata "Taliban" bahkan sempat menjadi trending topic di Twitter pada Minggu 20 Juni. 

Reaksi dari warganet beragam. Pemilik akun @hanifahalhaq, misalnya. Ia menyindir soal kebebasan berpakaian yang tidak objektif.

"Kalau yang berpakaian minim dibilangnya don't judge book by its cover. Kebebasan berpakaian, kebebasan berekspresi. Kalo yang tertutup gini dibilangnya Taliban. Yuk belajar lebih objektif yuk," kicaunya. 

Komentar bernada satire terhadap twit Eko Kuntadhi juga datang dari komika, Ernest Prakasa. "Belum kebagian jatah komisaris ya Mas? Semoga segera, amin!" tulisnya lewat akun @ernestprakasa.

Selain dikenal sebagai pegiat media sosial, Eko Kuntadhi seperti disebut Tribunnews, juga kerap dijuluki pendengung atau buzzer pemerintah . Namanya mulai seliweran ketika sering melontarkan twit kontroversial.

Masih bernuansa sindiran, Ryan Andriandy, animator film Nussa turut mengomentari twit Eko Kuntadhi. Ryan mengunggah foto yang menunjukkan tokoh Nussa berpakaian astronaut. 

"Taliban talibun  nih baca aja sinopsis film kami di website BIFAN. Noh sekalian gue kasih gambar NUSSA pake baju astronotnya. Biar lo sekalian tau NASA ada cabang di Ciledug," cuitnya di akun Twitter pribadinya, @Adriandhy pada 20 Juni.

Reaksi terhadap twit Eko Kuntadhi tidak hanya dalam bentuk kelakar. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Nadirsyah Hosen, misalnya. Ia mengatakan bahwa cara berpakaian seseorang tak otomatis menunjukkan ideologinya. Mereka yang mengenakan cadar, gamis, celana cingkrang, atau pakaian yang identik dengan muslim lainnya tidak otomatis menganut ideologi ekstrem seperti Taliban.

"Radikal-radikul itu bukan soal pakaian. Yg pakai cadar, gamis atau celana cingkrang atau jilbab syar’i tidak lantas membuat mereka otomatis jadi radikal, taliban, kadrun atau apapun labelnya. Repot kalau soal ginian aja gak paham-paham dan terus mainkan isu memecah belah bangsa," kata Nadirsyah dikutip dari akun Twitternya, @na_dirs.

Narasi yang menghubungkan pakaian Islami dengan sosok ekstrimis seperti Taliban memang bukan barang baru. Fenomena semacam ini pernah terjadi di negara minoritas Muslim.

Diskriminasi identitas Muslim 

Sahar Aziz  dalam tulisannya yang dimuat Oxford Islamic Studies menjelaskan bagaimana prejudis terhadap orang yang berpakaian islami tumbuh subur di Amerika Serikat (AS). Kata dia, diskriminasi terhadap identitas Muslim mulai bersemi pasca tragedi serangan kelompok ekstremis Al-Qaeda yang membajak pesawat dan menabrakkannya ke Menara Kembar WTC dan Pentagon, AS pada 11 September atau serangan 9/11. 

Tragedi itu membuat publik yang cemas dan marah menyerukan pembuatan profil sistematis dan pengawasan ketat terhadap Muslim. Target yang paling terlihat adalah wanita Muslim berjilbab. 

Tiba-tiba saja benih-benih kebencian dan kecurigaan tumbuh kepada orang berjilbab. Mereka kerap menjadi sasaran kekerasan rasial di tempat umum dan diskriminasi di tempat kerja. 

Hal tersebut juga membuat para Muslim minoritas khawatir akan keselamatan anak-anak yang sedang bersekolah. Mereka khawatir guru dan siswa lainnya  memendam sentimen anti-Muslim yang timbul dari stereotipe di media. 

Mereka juga mempertanyakan apakah harus melepaskan hak agamanya dengan menanggalkan jilbab demi menjaga keselamatan dirinya dan keluarga. Alasan lainnya adalah demi mempertahankan pekerjaan yang diperlukan untuk mendukung finansialnya.

"Sejak 9/11 mereka menghadapi stereotip sebagai teroris atau simpatisan teroris yang tidak setia dan anti-Amerika," tulis Aziz. 

Ilustrasi (Unsplash/Maria Teneva)

Dampak diskriminasi

Mencuatnya stereotipe "Islam teroris" menimbulkan dampak serius bagi komunitas Islam minoritas di AS. Mereka jadi kerap mendapat tindakan diskriminasi di AS.

"Stereotipe tentang wanita berjilbab memicu reaksi kekerasan dari orang asing yang meneriakkan julukan rasial dan sentimen agama seperti teroris, seorang 'muslim bajingan', seraya datangnya tuntutan agar mereka 'pulang' dan keluar dari AS," kata Aziz.

Banyak wanita Muslim yang jilbabnya dirobek oleh penyerangnya. Pada akhir 2010, frekuensi kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan Muslim berasarkan kebencian ras dan agama meningkat pada tingkatan yang mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu dua bulan, setidaknya enam kasus kejahatan kebencian yang dilaporkan di seluruh negeri dilakukan terhadap wanita Muslim yang mengenakan jilbab. 

Selain itu, diskriminasi Muslim di tempat kerja juga meningkat dramatis setelah 9/11. Banyak bos yang menolak mempekerjakan pegawai manita Muslim yang mengenakan jilbab atau mengubah kebijakan mereka untuk memaksa karyawan wanita Muslim mereka melepas jilbab. 

Negara lainnya

Selain AS, di beberapa negara barat lain seperti Prancis dan Kanada, tindakan diskriminatif terhadap identitas Muslim juga pernah terjadi. Di Kota Mode, menurut Afadlal dalam jurnal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2016, pemakaian jilbab oleh perempuan muslimah di gedung pemerintah merupakan tindak insinuasi terhadap peradaban Barat. 

Begitu pula di Kanada. "Para pejabat cenderung menuduh para pemakai jilbab melawan kebebasan Mereka tampak masih ragu apakah hal itu betul betul melanggar hukum Apalagi ada kemungkinan pemakaian jilbab merupakan bagian dari keyakinan bukan sekadar identitas keagamaan," tulis Afadlal. 

Kenyataan buruk lain menurut Afadlal yakni tentang kecurigaan terhadap Islam. Misalnya politik Islam dianggap menjegal demokrasi dan menjadi sumber kekerasan. Pemerintah Prancis saat ini memenjarakan banyak orang Islam beraliran keras. 

Kecurigaan terhadap Islam juga menurut Afadlal memotivasi pemerintah melakukan diskriminasi misalnya dalam pengurusan dokumen pribadi dan identitas diri. "Bahkan ada kasus paspor warga negara bukan Putih dicampakkan semata untuk menunjukkan diskriminasi," tulis Afadlal. 

*Baca Informasi lain soal BUDAYA POPULER atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian.

BERNAS Lainnya