JAKARTA - Invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak masih menimbulkan banyak pertanyaan besar meski telah 17 tahun berlalu. Yang paling dipertanyakan adalah apa alasan sebenarnya Presiden AS ke-43 George Walker Bush menggalang serangan ke Negeri Seribu Malam?
Serangan itu bermula ketika Washington meyakini Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal. Amerika khawatir fasilitas nuklir Irak dapat memicu perang besar. Menteri Luar Negeri AS saat itu Condoleezza Rice menggambarkan situasi itu dengan mengatakan: Kami tidak ingin senjata asap berubah menjadi "awan jamur (ledakan nuklir).
Sebaliknya, Debs dan Monteiro, dalam jurnal bertajuk Known Unknowns: Power Shifts, Uncertainty, and War (2013) berargumen bahwa tuduhan AS tak berbukti. Salah satu alasannya adalah soal keterlibatan pemerintah AS dalam propaganda palsu jelang perang Irak.
Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa perang Irak-AS sebenarnya tak ada hubungannya dengan senjata pemusnah massal atau WMD, apalagi alasan penyebaran ideologi demokrasi. Sebaliknya, secara garis besar, perang Irak dimotivasi oleh keinginan AS kembali membangun posisi sebagai negara kekuatan utama dunia.
Kemenangan cepat di Jantung Tanah Arab akan mengirim pesan ke banyak negara, seperti Suriah, Libya, Iran ataupun Korea Utara bahwa hegemoni AS masih besar di sana. Bush, yang hari ini genap berusia 74 tahun memegang keputusan penting di balik itu.
Sebelum peristiwa penyerangan Pentagon pada 11 September 2001, Menteri Pertahanan AS era Bush, Donald Rumsfeld pernah menimbang bahwa menaklukkan Saddam akan meningkatkan kredibilitas dan pengaruh AS di wilayah regional tersebut. Alasan semakin kuat di tanggal 11 September, ketika simbol-simbol dominasi militer dan ekonomi AS dihancurkan.
Walhasil, pemerintahan Bush semakin yakin bahwa hegemoni di AS harus semakin diperkuat. Satu-satunya cara untuk mengirim pesan kuat yang mengancam adalah dengan menunjukkan kemenangan besar dalam perang.
Namun, AS merasa perlu menargetkan negara yang cukup kuat. "Kita perlu meledakkan sesuatu yang lain, yang membuktikan bahwa kita adalah besar dan kuat dan tidak tertekan oleh serangan semacam ini," kata Rumsfeld dikutip Al Jazeera.
Irak dinilai sesuai dengan kriteria target AS. Pertama, karena Irak dinilai lebih kuat dari Afghanistan. Kedua, karena Irak berada dalam garis neokonservatif.
Bukan sekadar Irak
Wacana penyerangan Baghdad sebenarnya sudah bergulir sejak rezim presiden sebelumnya, George HW Bush. Namun, rencana yang bergulir pada 1991 itu ia tolak. Rencana baru bisa terlaksana setelah peristiwa 9/11 pecah.
Seperti dikutip Al Jazeera, seorang pejabat senior di pemerintahan Bush menceritakan bahwa Irak bukan hanya tentang Irak. Irak adalah salah satu negara yang "diperhatikan" selain Iran, Suriah, dan Korea Utara.
Dalam memo yang dikeluarkan pada 30 September 2001, Rumsfeld menasihati Bush bahwa "Pemerintah AS harus membayangkan tujuan di sepanjang garis-garis negara Afghanistan dan dua negara kunci lain yang mendukung terorisme," katanya.
Menteri Pertahanan AS era Bush, Donald Rumsfeld, seperti ditulis Feith dalam War and Decision (2009) mengatakan, tindakan terhadap Irak akan membuatnya lebih mudah menghadapi Libya dan Suriah secara politik dan militer. Sementara, Wapres Dick Cheney, pernah mengatakan, di balik perang itu menunjukkan, "Kami (AS) mampu dan mau menyerang seseorang. Itu mengirimkan pesan yang sangat kuat," katanya.
BACA JUGA:
Hal senada juga pernah dibahas penulis Jonah Goldberg. Ia menganalisis masalah ini menggunakan teori sejarawan Michael Ledeen. Goldberg menyebutnya "Doktrin Ledeen".
Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa setiap sepuluh tahun atau lebih, AS perlu mengambil "tumbal" beberapa negara kecil "dan melemparkannya ke dinding, hanya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kita (AS) negara yang diperhitungkan," tulis Goldberg.
Maka, --meski telah jadi rahasia umum para penggali fakta-- bisa dikatakan bahwa senjata pemusnah massal dan memerangi terorisme hanyalah omong kosong yang dibangun AS untuk menyerang Irak.