Bagikan:

JAKARTA - Tragedi 11 September 2001 dianggap serangan terorisme terbesar dalam sejarah Negeri Paman Sam. Kala itu dua pesawat yang dibajak teroris menghantam simbol kedigdayaan Amerika Serikat (AS), menara kembar World Trade Center (WTC), New York.

Duka mendalam muncul dari mana-mana. Korban jiwa terus berjatuhan. AS berang bukan main. Mereka pun menggelorakan perang melawan terorisme. Imej Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia dibutuhkan.Bujuk rayu agar Indonesia bergabung dalam koalisi melawan terorisme dilakukan. 

New York kerap dijuluki kota yang tak pernah tertidur. Aktivitas ekonomi terus berputar. Apalagi, pada pagi hari, 11 September 2001. Hiruk-pikuk keramaian sedari pagi sudah berdengung. Orag-orang mulai sibuk pergi bekerja dengan segala macam transportasi.

Ada yang menggunakan transportasi umum macam subway. Ada pula yang menggunakan kendaraan pribadi. Kemacetan pun sudah menjadi ciri khas kota sebesar dan sepenting New York. Masalah muncul. Suasana semarak kegiatan ekonomi justru tiba-tiba terganggu.

Posisi menara kembar WTC yang tinggal reruntuhan belaka. (Wikimedia Commons)

Satu hal yang pasti bukan gangguan sembarangan. Seisi New York jadi gempar karena mendengar suara dentuman keras. Belakangan orang mengetahui ada sebuah pesawat dari maskapai American Airlines Boeing 767 yang memuat 20 ribu galon bahan bakar jet menabrak menara utara gedung WTC.

Tabrakan itu berlangsung pada pukul 08:30 pagi. Kemudian, pesawat kedua Boeing 767 dari maskapai United Airlines menghantang menara selatan beberapa menit setelahnya. Tabrakan itu mengakibatkankan ledakan yang amat besar.

Dua jam setelahnya dua gedung itu runtuh. Ribuan orang jadi korban jiwa. Orang-orang yang sedang menekuni aktivitas sehari-hari jadi panik bukan main. Kepanikan kian bertambah karena mereka mendapatkan informasi bahwa jaringan teroris, Al Qaeda ada di balik pembajakan pesawat.

Klaim itu memperparah keadaan. Teror dari jaringan teroris itu menyebar di seantero dunia. AS bak kehilangan muka. Mereka yang notabene negara digdaya dalam hal politik dan keamanan nyatanya mudah ditembus oleh terorisme. Akibatnya, isu resesi ekonomi dunia pun diprediksi akan berlangsung.

“Kesimpulan itu agaknya tak berlebihan. Peran Amerika dalam perekonomian dunia tak bisa disepelekan. Selama ini produk AS menyumbang seperempat output dunia. Sebaliknya, sepertiga ekspor China dan Jepang mengalir ke negeri gandum itu.”

“Jika kepercayaan konsumen AS ambruk, pabrik mobil Jepang akan kehilangan seperempat pasarnya dan para pedagang China bakal kelimpungan mencari tujuan ekspor baru bagi industri garmen dan mainan anak-anak. Daftar ini masih bisa diperpanjang: Taiwan serta Malaysia harus menutup sebagian pabrik semikonduktor, dan Indonesia terpaksa mengurangi pengapalan produk kerajinan tangan, alas kaki, dan kayu lapis,” ujar Nugroho Dewanto dan Anwar Fuadi dalam laporannya di majalah Tempo berjudul Masa Depan Koboy yang Boyak (2001).

Rayu Indonesia

Pemerintah AS bukan negara yang cepat menyerah. Empunya kuasa dengan cepat mencari siasat supaya serangan 19 September 2001 tak mengganggu perekonomian dunia. Presiden George Walker Bush ambil sikap. Bush ingin mengambil hati umat Islam sedunia.

Ia kemudian memilih Indonesia jadi negara Muslim pertama yang diundang ke AS pasca Tragedi 9/11. Undangan itu bagi Indonesia bak keistimewaan. Sebab, Indonesia dianggap punya pengaruh besar ke negera Muslim dunia.

Arab Saudi dan negeri Arab lainnya justru tak begitu dianggap penting AS. Pucuk dicinta ulam tiba. Presiden Megawati berangkat ke AS dan berjumpa Bush pada 19 September 2001.

Kedua pemimpin negara --Bush dan Megawati-- mencoba menyegarkan kembali hubungan. Segala macam luka lama segera dilupakan. Fokus kedua negara berubah menjadi membentuk koalisi melawan terorisme di dunia. Bujuk rayu AS pun digelorakan ke Indonesia.

AS berjanji mengusahakan dana bantuan ke Indonesia. Ada pun keinginan AS untuk memberikan bebas bea masuk ke AS untuk beberapa produk Indonesia. AS juga mengajak Indonesia untuk menggelar latihan militer bersama-sama.

Megawati Soekarnoputri bertemu George Walker Bush di Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat pada 19 September 2001. (Wikimedia Commons)

Kebaikan AS tentu saja mengharapkan timbal balik. Indonesia kala itu dipandangnya sebagai negeri dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia. Keikutsertaan Indonesia dalam koalisi melawan terorisme akan membuat mata dunia tak lagi menganggap AS Islamofobia. Sebab, AS dulunya sering kali mengaitkan terorisme ke dunia Islam.

AS mendukung Indonesia. Begitu pula sebaliknya. Bujuk rayu pun berhasil. Kerja sama itu dianggap sebagai langkah besar untuk memerangi terorisme, khususnya Al Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden. Komitmen itu buat resesi ekonomi dunia akhirnya tak kejadian.

“Megawati adalah presiden dari negeri dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Karena itu, bagi George W. Bush, penerimaan Megawati di Gedung Putih nanti pasti sangat berguna untuk meyakinkan dunia bahwa, dengan memproklamasikan perang terhadap terorisme dalam segala bentuknya, Amerika tidak memusuhi negeri-negeri Islam.”

“George W. Bush dapat menggunakan pertemuannya dengan Megawati untuk berseru bahwa masyarakat Islam, baik yang berada di Timur Tengah, Asia, maupun di Amerika sendiri, tidak perlu khawatir dengan tekad negeri adidaya yang dipimpinnya untuk mengejar serta menghancurkan kaum teroris hingga ke pelosok dunia mana pun,” ungkap Rizal Mallarangeng dalam buku Dari Langit (2008).