Bagikan:

JAKARTA - Boediono dikenal sebagai pejabat publik yang lurus. Wakil Presiden era 2009-2014 itu tak pernah mau kompromi. Ia juga tak mau mengambil hal yang bukan haknya. Tujuan hidupnya bukan menjadi kaya raya, apalagi sampai korupsi.

Ia bak bekerja keras untuk sepenuhnya kemakmuran rakyat. Kondisi itu diperlihatkan kala Boediono mendapatkan fasilitas naik haji dari negara. Pemerintah sudah menyediakan segalanya. Namun, Bodiono menolak uang negara. Ia memilih menggunakan dana dari koceknya pribadi.

Perjalanan karier Boediono sebagai pejabat negara tak dapat dianggap remeh. Pria kelahiran Blitar, 25 Februari 1943 itu telah eksis dalam pemerintahan sejak era Orde Baru (Orba). Boediono kala itu tercatat sebagai Wakil Gubernur Bank Indonesia dari 1997-1998.

Nama Boediono tak lantas dilupakan di era reformasi. Jasanya kembali digunakan untuk mengisi jabatan Menteri Negara dan Perencanaan Pembangunan Nasional era 1998-1999. Eksistensinya sebagai ekonom terus menanjak.

Ia mendapatkan jatah sebagai menteri di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Puncaknya, Boediono dipercayakan menjadi Gubernur Bank Indonesia. Rentetan karier gemilang itu tak membuat Boediono besar kepala.

Boediono yang pernah menjabat sebagai Wapres Indonesia era 2009-2014. (ANTARA)

Sikapnya tetap membumi. Ia terus hidup lurus dalam kesederhanaan. Padahal, jabatannya menunjang untuk Boediono hidup mewah. Kapasitas keilmuan dan kesederhaaan itu lalu membuat SBY kepincut. SBY lalu menggandengnya jadi Cawapres dalam Pilpres 2009.

Duet itu mengebohkan seisi Indonesia. Sebab, tak banyak yang mengenal kapasitas dan rekam jejak Boediono. Banyak yang tak yakin Boediono dapat mendongkrak suara dalam Pilpes 2009. Namun, SBY telah mengumpulkan niatannya.

SBY memilih Boediono bukan berdasarkan pertimbangan popularitas, tapi kinerja. Ia yakin Boediono dapat membantunya banyak hal dalam pemerintah. Kondisi itu terlihat dalam komitmen Boediono. Ia memilih untuk murni mengabdikan diri kepada bangsa dan negara.

Kritik terhadap Boediono memang tetap ada, termasuk kasus Bank Century. Namun, Boediono tak mengambil pusing. Ia mampu menunjukkan dirinya sebagai pejabat berintegritas. Ia jadi pejabat yang lurus dan tak mau mengambil hal yang bukan haknya.

“Sejak awal saya ingin bekerja untuk negara. Negara bukan berarti pemerintah. Kalau yang saya lakukan berbeda dengan yang lain, itu karena perbedaan pandangan mana yang lebih efektif untuk meningkatkan kemakmuran rakyat saja. Dari sisi tujuan, tidak ada bedanya, semua ingin meningkatkan kemakmuran rakyat. Jadi, kalau saya disebut pro-asing dan anti-ekonomi kerakyatan, saya rasa kok itu tidak fair.”

“Saya sedih mendengar tudingan itu. Saya tidak bercita-cita menjadi kaya. Sejak masih sekolah saya tidak ingin masuk dunia bisnis. Kalau saya mau bekerja di tempat lain (sebagai pengusaha), kemungkinan itu ada. Tapi saya ingin mengabdi kepada negara. Itu mungkin terlalu di awang-awang. Tapi terus terang, memang seperti itu keadaannya,” ungkap Boediono dalam wawancara dikutip Arif Zulkifli dan kawan-kawan dalam laporan berjudul Boediono: Saya Tidak Bercita-cita Jadi Kaya (2009).

Naik Haji Duit Sendiri

Laku hidup sederhana dan lurus juga diperlihatkan Boediono kala naik haji. Ia menganggap naik haji adalah ibadah yang bersifat pribadi. Ia ingin menunaikan ibadah haji bersama keluarganya. Masing-masing bersama istrinya, Herawati Boediono, seorang anak, Dios Kurniawan, dan menantu Arie Hendradjat.

Ada pun orang di luar keluarga dalam rombongan itu antara lain Sekretaris Wakil Presiden, Moehamad Oemar dan Deputi Seswapres bidang Kesejahteraan Rakyat dan Penanggulangan Kemiskinan, Bambang Widianto. Rencana Wapres pun sampai ke telinga pemerintah.

Pemerintah sudah selayaknya memfasilitasi perjalanan haji Boediono dan keluarga yang direncanakan pada 20 Oktober 2012. Pesawat milik TNI AU berjenis Boeing 737-400 disiapkan. Masalah muncul. Boediono tak ingin keberangkatannya dibiayai oleh negara.

Boediono pun segera meminta Sekretarisnya, Moehamad Oemar meluruskan keinginannya. Oemar diberikan tugas untuk menghitung segala dana yang dihabiskan Boediono dari awal keberangkatan hingga pulang. Bahkan, sampai biaya parkir pesawat.

Hitung-hitungan itu nantinya akan diganti oleh Boediono dari kocek pribadinya. Laku hidup itu diperlihatkan olehnya sebagai bentuk pemisahan tegas mana agenda untuk negara dan mana untuk pribadi. Laku hidup itu menjadi contoh besar terkait perilaku pemimpin bangsa yang menginspirasi.

“Waktu beliau naik haji. Beliau mengajak ibu, putra serta satu orang mantu. Kita menggunakan pesawatnya TNI AU yang tentunya disediakan untuk pesawat kepresidenan. Semuanya seharusnya ditanggung oleh biaya negara. Namun, beliau dengan kejujuran itu melihatnya sejak awal bahwa naik haji ini adalah kemauan dan ibadah pribadi.”

“Saya dan keluarga harus bayar. Tolong dihitung itu BBM-nya pesawat yang habis. Ongkos parkir selama di sana. Nah, kalau dibagi jumlah kursi berapa, saya bayar berapa kursi. Di situ saya harus bayar dan bapak bayar. Kami terima uang pribadi beliau. Kami setorkan ke kas negara.” Sekretaris Wakil Presiden Boediono, Oemar sebagaimana diungkap dalam acara Mata Nadjwa episode Di Balik Diam Boediono, 19 Maret 2014.