Bagikan:

JAKARTA - Diego Armando Maradona adalah bintang sepak bola dengan kepribadian menarik. Laku hidupnya di lapangan hijau maupun luar lapangan selalu mengundang perhatian. Ia bahkan jadi pelindung kaum tertindas. Sosialisme jadi pedoman hidupnya.

Ia menentang keras penjajahan dan ketidakadilan di atas bumi. Aksi itu diperlihatkan kala ia berjumpa Paus Yohanes Paulus II pada 1986. Alih-alih meminta pemberkatan, Maradona justru mengecam gaya hidup mewah pemimpin besar umat Katolik dunia itu.

Aksi Maradona meraih puncak ketenaran tak mudah. Pria kelahiran Lanus 30 Oktober 1960 itu merasakan pedihnya terlahir di pemukiman kumuh di pinggiran Buenos Aires. Namun,  Maradona tahu caranya bersenang-senang: bermain bola.

Saban hari Maradona kerap mengembangkan bakat sepak bolanya. Ia menyadari bahwa sepak bola adalah satu-satunya opsi jalan keluar dari kemiskinan. Hobi itu ditekuni dan berhasil. Kemampuan bermain sepak bola Maradona berada di atas rata-rata.

Hasilnya mengagumkan. Maradona perlahan-lahan memetik hasil jadi bintang sepak bola lokal, hingga dunia. Ia pernah dipinang raksasa liga Spanyol, Barcelona (1982-1984), kemudian dipinang oleh klub Liga Italia, Napoli (1984-1991).

Bintang Sepak Bola Diego Maradona kala berjumpa Paus Yohanes Paulus di Vatikan pada 1986. (Istimewa)

Maradona pun tak henti-hentinya mencetak gol. Puncaknya, Maradona membawa Argentina juara dunia pada Piala Dunia Meksiko 1986. Ia memperlihatkan gol spektakuler kala melawan Inggris. Gol tangan tuhan, namanya.

Gol itu tak saja mengantarkan namanya jadi tenar, tapi gol itu seraya menjelma jadi sebuah alat politik. Maradona bak mengirimkan pesan telah pecundangi Inggris yang pernah menjajah Argentina. Sikap itu dianggap wajar.

Maradona pernah merasakan rasanya hidup sebagai rakyat kecil yang tertindas. Alhasil, pengalaman hidup itu membuatnya mantap bersikap anti kolonialisme dan imperialisme. Sosialisme pun jadi jalan hidupnya untuk menekuni aktivitas sebagai aktivis kemanusiaan.

Ia selalu menyisihkan tenaga dan hartanya untuk membantu kaum tertindas. Ia juga sering membantu orang yang kurang beruntung untuk merangkai mimpi jadi pesepakbola profesional. Sikap politik itu membuatnya mengidolai tokoh-tokoh revolusioner dunia macam Che Guevara dan Fidel Castro.

“Banyak olahragawan yang mengaku sebagai pembela rakyat, tetapi Maradona yang benar-benar mewujudkannya. Ia berada  membela nasib kubu proletar Buenos Aires, Naples, dan sekarang Havana.”

“Di Buenos Aires, jika Anda bertanya-tanya, tanggapan terhadap Maradona selalu penuh perhatian, selalu simpatik. Kemudian, orang-orang Havana, yang tidak pernah mengenal Maradona, jadi fanatik. Kuba sangat cocok untuknya. Ia bisa menjadi orang yang dekat dengan rakyat dan presiden, bergaul dengan Fidel Castro pula,” ujar Martinus Amis dalam tulisannya di laman The Guardian berjudul In search of Dieguito (2004).

Kritik Sri Paus

Maradona kerap menggebu-gebu ketika bercerita terkait aktivitas sosialnya. Ia juga tak segan-segan melempar kritik kepada pihak yang dianggapnya tak total dalam melakukan misi sosial kemanusian. 

El Diego yang baru saja membawa Argentina menang Piala Dunia Meksiko 1986 datang ke Vatikan bersama keluarganya untuk berjumpa dengan Paus Yohanes Paulus II. Maradona dan keluarganya pun diberikan masing-masing sebuah rosario.

Kunjungan itu mulanya tak ada masalah. Namun, Sri Paus memulai bercerita terkait misi sosial kemanusiaannya membantu kaum miskin, khususnya anak-anak. Maradona tak terima. Maradona menganggap dirinya tak bodoh.

Ia melihat langsung kemegahan dari Palazzo Apostolico (Istana Apostolik) dengan langit-langit emasnya. Maradona bahkan melihat bagaimana orang-orang melayani Sri Paus dengan sigap. Orang-orang itu datang memastikan segala macam kebutuhan pemimpin besar umat Katolik dunia.

Pengamatan itu membuat cerita Paus Yohanes Paulus II terkait kepedulian sosial seakan bualan belaka. Maradona beranggapan orang macam apa yang ditinggal di dalam Istana dengan langit-langit emas, lalu pergi ke negara-negara miskin dan mencium anak-anak dengan perut kenyang.

Ia bahkan secara langsung meleparkan kritiknya kepada Sri Paus. Maradona menantang Paus Yohanes Paulus II untuk menjual langit-langit emas untuk membantu orang miskin. Semenjak itu Maradona mulai menjauh dari Katolik karena kecewa dengan Sri Paus.

Maradona mengungkap aksi itu dilakukan sebenarnya untuk mewakili orang-orang yang tak berani bersuara kepada Sri Paus. Alhasil, kala Maradona melemparkan kecaman itu banyak orang yang merasa terwakili dengan apa yang disampaikan Maradona.

Penggemar Maradona kian bertumbuh. Namun, belakangan Maradona memilih mendekatkan diri kembali kepada agama Katolik karena rekan senegaranya terpilih jadi pemimpin besar umat Katolik dunia: Paus Fransiskus.

“Sebelum saya melanjutkan cerita saya, katakanlah dari puncak tertinggi karier saya – tepat setelah Piala Dunia Meksiko 1986 – Saya mengomentari banyak masalah dengan banyak orang. Ya, saya pernah bertengkar dengan Paus Yohanes Paulus II.”

“Saya kesal karena saya pergi ke Vatikan dan melihat langit-langit emas. Dan kemudian saya mendengar Paus berkata bahwa Gereja peduli terhadap anak-anak miskin. Namun, emosi saya meledak, aku meminta Paus menjual langit-langit emas: Lakukan sesuatu! Anda memiliki segalanya untuk membantu orang miskin,” ungkap Maradona dalam buku Yo soy el Diego (2000).