Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 10 tahun yang lalu, 5 September 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan ia dan presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) takkan saling menyalahkan dalam proses transisi kekuasaan. Tujuannya supaya proses transisi dapat berlangsung lancar dan tetap dalam koordinasi.

Sebelumnya, SBY mencoba menjadi negarawan sejati. Ia  mencoba membuktikan dirinya bisa berlaku netral dalam kontestasi Pilpres 2014. SBY tidak memihak kepada Capres Prabowo Subianto atau Jokowi.

Urusan netralitas sebagai pejabat negara dalam kontestasi politik, khususnya Pilpres tak mudah. Biasanya tiap pejabat memberikan jalan kepada suksesornya melaju. Ada yang secara diam-diam. Ada yang secara terang-terangan.

SBY tak masuk dalam keduanya. Presiden Indonesia dua periode itu dengan tegas akan menjunjung tinggi netralitas dalam Pilpres 2014. Ia tak memihak kepada kandidat capres-cawapres, Prabowo Subianto- Hatta Rajasa. Apalagi, Jokowi-Jusuf Kalla (JK).

SBY mengakui memang dirinya memiliki kapasitas besar untuk jadi jurkam. Namun, opsi itu tak diambilnya. Ia mencoba memberikan contoh bahwa harapan menjaga amanat konstitusi supaya pemilu terlaksana Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil).

Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. (ANTARA)

Jangankan berpihak kepada kandidat capres. SBY saja mencoba memisahkan diri antara kepentingan dirinya dan kepentingan Partai Demokrat. Keputusan SBY pun disambut dengan gegap gempita. SBY dianggap telah berdiri atas nama rakyat Indonesia.

Ia dielu-elukan sebagai negarawan sejati. SBY pun tak lantas besar besar kepala. Ia terus saja menjalankan aktivitasnya sebagai Presiden yang menjamin hadirnya pemilu Luber Jurdil. Ia meminta kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk berlaku netral.

SBY juga meminta TNI dan Polri melakukan hal yang sama. Langkah itu supaya maruah institusi TNI dan Polri tetap dihormati oleh masyarakat. Sebab, tanpa peran besar mereka mengamankan Pilpres 2014. Pemilu boleh jadi terdapat banyak kecurangan, politik uang, hingga intimidasi.

“Prediksi tahun 2013 dan 2014 adalah tahun politik mengundang komentar berbagai kalangan. Tak urung Presiden, SBY dan Wapres, Boediono mengingatkan, pentingnya diperhatikan tahun politik ini. Presiden, SBY mengatakan, semua abdi negara, termasuk pejabat jajaran pemerintahan dalam Pemilu harus benar-benar netral dan mendidik, terlebih TNI dan Polri.”

“Netral, tidak berpihak, dan tidak melakukan sesuatu yang keluar dari aturan UU dan etika. Bagi jajaran Anggota Kabinet serta para Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berasal dari partai politik, ketika harus menjalankan misi politik dalam rangkaian Pemilu 2014 mendatang,” terang Achmad Fachrudin dalam buku Jalan Terjal Menuju Pemilu 2014 (2013).

Keputusan SBY netral lalu membuat jalannya pilpres yang terjadi pada 9 Juli 2014 berjalan lancar. Belakangan pasangan Jokowi-JK justru mendominasi perolehan suara. Kemenangan itu membuat Jokowi-JK segera membentuk tim transisi pemerintahan.

Presiden SBY dan presiden terpilih, Jokowi berkomitmen takkan  saling menyalahkan antara pemerintah dan tim transisi pada 5 September 2014. SBY menyatakan akan mengawal pemerintahan hingga 20 Oktober mendatang.

Tiada yang saling menyalahkan kinerja masing-masing. Tiada pula yang memojokkan satu sama lain. Semuanya supaya Proses peralihan dapat lancar. Kondisi itu membuat SBY berkomitmen untuk membantu proses peralihan sehingga pemerintahan pemerintahan baru dapat langsung bekerja. SBY tak ingin menghambat hal itu, asal segalanya terkoordinasi.

"Tak perlu saling menyalahkan, misalnya Tim Transisi mengkritik kebijakan pemerintah dan kita (pemerintah) tak perlu menyalahkan kebijakan tim," kata SBY dalam rapat kabinet paripurna sebagaimana dikutip laman tempo.co, 5 September 2014.