Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 13 tahun yang lalu, 2 September 2010, Wakil Presiden (Wapres) Indonesia, Boediono turun gunung atasi kemacetan Jakarta. Keinginan itu dilanggengkan karena ia menganggap pemimpin Jakarta, Fauzi Bowo (Foke) bekerja tak maksimal.

Sebelumnya, kemacetan lalu lintas mulai hadir pada era 1960-1970-an. Perkembangan itu karena Jakarta menjelma sebagai pusat pemerintahan. Orang-orang ramai berdatangan ke Jakarta. Kondisi itu membuat pengguna transportasi umum dan pribadi meningkat.

Kota Jakarta memiliki arti penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Banyak kejadian bersejarah yang berlangsung di Jakarta sejak dulu kala. Pun proklamasi kemerdekaan Indonesia juga berlangsung di Jakarta.

Posisi istimewa itu membuat segenap tokoh bangsa ingin mempercantik wajah Jakarta. Puncak Jakarta mempercantik diri pun berlangsung pada era kepemimpinan Ali Sadikin. Gubernur DKI Jakarta yang menjabat dari 1966-1977 membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin yang beringritas.

Jakarta paling banyak berkembang di eranya. Ali pun dielu-elukan sebagai Gubernur DKI Jakarta terbaik sepanjang masa. Prestasi Ali Sadikin memang besar. Namun, bukan berarti tanpa masalah. Jakarta yang berkembang pesat justru membawa masalah baru.

Boediono dan istrinya Herawati Boediono kala berkunjung ke TPS dalam Pilpres 2009. (Antara/Noveradika)

Arus kedatangan orang daerah ke Jakarta mengadu nasib meningkat tajam. Alhasil, pengguna transportasi ikutan meningkat. Dari transportasi umum hingga pribadi. Masalah muncul. Jakarta jadi macet nan sumpek.

Ali Sadikin tak diam saja. ia mencoba segala macam ajian untuk membuat Jakarta terlepas dari masalah macet. Ia mulai melanggengkan pelebaran jalan, melarang penarik becak, hingga menambah banyak transportasi umum. Ajian itu tak berjalan mulus saja. Kadang kala Ia ikut naik pitam kala warga yang tak mau bekerja sama untuk Jakarta lebih baik.

“Gubernur Ali Sadikin juga memerhatikan sistem lalu lintas di Jakarta. Untuk melancarkan arus lalu lintas yang menjadi akses menuju pusat perdagangan dan keuangan, Glodok, yang setiap hari macet. Ali Sadikin menerima usul memperlebar Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk. Tetapi staf mengingatkan, Pak Gub, jika kita melebarkan jalan, maka kita harus memberikan ganti rugi tanah dan bangunan.”

“Ali Sadikin menggebrak: kita akan lebarkan jalan tanpa ganti rugi. Melihat Ali Sadikin bersuara dengan nada keras, tidak ada yang berani lagi bicara. Kemudian Ali Sadikin meminta para aparat, dari camat sampai lurah, dibantu kepala lingkungan dan RT mensosialisasikan rencana pelebaran jalan. Syukurlah para penghuni dapat menerima gagasan ini,” ungkap Wardiman Djodjonegoro dalam buku Sepanjang Jalan Kenangan (2016).

Masalah kemacetan tak lantas berhenti ketika masa tugas Ali Sadikin sebagai pemimpin Jakarta habis. Penerusnya tampak kewalahan melawan kemacetan Jakarta. Solusi memang banyak dilanggengkan. Namun, tiada yang mampu mengatasi kemacetan.

Wapres Boediono saat hari terakhir masa jabatannya sebagai Wakil Presiden RI pada 17 OKtober 2014, tampak bersama Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutarjo. (Antara/Andika Wahyu)

Apalagi, kala Jakarta pimpin oleh Foke. Pemimpin Jakarta itu memang banyak memiliki program menanggulangi permasalahan macet di Jakarta. Hasilnya justru tak memuaskan. Alih-alih berhasil, Foke justru tak mampu membendung masalah kemacetan yang telah menahun.

Kegagalan itu membuat banyak pihak geram. Wakil Presiden Indonesia, Boediono, salah satunya. Ia merasa sebagai pemimpin negara memiliki tanggung jawab moral untuk membebaskan Jakarta dari Macet. Ia tak mau bergantung dengan langkah Foke. Pun karena Jakarta adalah wajah Indonesia.

Ia pun mulai mempersiapkan ajiannya membebaskan Jakarta dari macet di Kantor Wapres pada 2 September 2010. Tak tanggung-tanggung, Boediono langsung menyertakan 17 langkah Jakarta bebas macet. Dari penambahan jalur busway, electronic road pricing (ERP), hingga penataan ulang jalur kereta api.

Semua ajian itu diharapkan dapat dikerjakan secepatnya oleh semua pihak. Dari level kementerian hingga pemerintah DKI Jakarta. Sekalipun, langkah itu tetap saja tak membawa perubahan signifikan.

"Keberadaan kereta api Jabodetabek juga akan dilakukan penataan ulang jalur (rerouting) mengingat jalur saat ini dinilai tidak mampu optimal mengangkut penumpang," tambah Staf Khusus Budiono Bidang Media Massa, Yopie Hidayat sebagaimana dikutip Antara, 2 September 2010.