Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 40 tahun yang lalu, 29 Agustus 1983, Menteri Keuangan, Radius Prawiro melantik Brigjen Bambang Soejarto sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai (Bea Cukai). Penunjukkan itu dipuji banyak pihak. Soejarto dianggap dapat mengubah wajah Bea Cukai ke arah lebih baik.

Sebelumnya, Bea Cukai kerap dikaitkan dengan ragam penyelewengan dan penyelundupan. Imej sarang koruptor pun sempat hadir. Kondisi itu disoroti banyak pihak, utamanya penguasa Orde Baru (Orba) dan pengusaha luar negeri.

Bea Cukai tak pernah jauh dari urusan penyelewengan dan penyelundupan. Institusi itu bahkan dicap sebagai sarangnya koruptop. Dari era Orde Lama hingga Orde Baru (Orba). Kondisi itu terus bertahan lama. Alih-alih mempermudah kerja pemerintah, Bea Cukai justru kerap bertindak lamban.

Mereka bak tak dapat bekerja jika tak memperoleh keuntungan. Apalagi Bea Cukai menjelma sebagai law unto itself, alias lembaga yang menjadi hukum itu sendiri. Pemerintah pun kelimpungan. Mereka tak dapat maksimal melanggengkan fungsi kontrolnya.

Korupsi di Bea Cukai sudah menjalar ke segala lini. Kondisi itu mendapatkan kritik dari sana-sini. Utamanya, karena hadirnya istilah denda damai. Kebijakan yang notabene hadir untuk memuaskan semua pihak.

Aksi petugas Bea Cukai dalam melakoni perannya sehari-hari. (beacukai.go.id)

Pembayaran denda damai itu membuat penyelundup dan pejabat Bea Cukai dapat meraih keuntungan maksimal. Pun kemudian penyelundup cuma membayar denda damai dan segala macam urusan dipermudah. Alias beres. Semua surat dimanipulasi, demikiannya juga angkanya.

Fakta itu membuat pamor penguasa Orba semakin buruk. Sebab, korupsi bukan hanya berada di tubuh kerap berada di tubuh militer, tapi juga di sipil. Kinerja Bea Cukai sudah terlampau buruk. Orang-orang kemudian menuntut pemerintah untuk segera melanggengkan gebrakan supaya Bea Cukai dapat bersih dari koruptor.

“Memang demikianlah yang sebenarnya. Cetusan dan tuntutan pemberantasan korupsi adalah suatu jeritan hati nurani rakyat yang timbul dari fakta-fakta nyata dan hidup. Persoalannya tidak bisa ditutup-tutupi dengan tuduhan-tuduhan anti ABRI.”

“Koruptor-koruptor sipil pun tidak kurang banyaknya yang telah disorot selama ini. Telkom, Bea Cukai, yayasan-yayasan haji, skandal BE, skandal Mantrust, Arief Husni dengan Coopanya adalah contoh-contoh yang jelas,” terang Moctar Lubis dalam buku Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya Volume 2 (1997).

Presiden Soeharto dan Orba tak tinggal diam. Kelakuan Bea Cukai dianggap sudah kelewat batas. Pemerintah dan pengusaha luar negeri sama-sama menyoroti perilaku merugikan Bea Cukai. Empunya kuasa kemudian melanggengkan ragam kebijakan. Rotasi hingga gonta-ganti pejabat Bea Cukai dilanggengkan sejak 1970-an.

Ajian itu tak banyak membantu. Akhirnya, Menteri Keuangan era 1983-1988, Radius Prawiro mencoba melanggengkan penggantian pimpinan Bea Cukai dengan seorang perwira tinggi dari Departemen Hankam. Jenderal Bambang Soejarto, namanya.

Ia berharap kehadiran Soejarto dapat membawa angin segar bagi Bea Cukai. Harapan itu pun kejadian pada 29 Agustus 1983. Menteri Keuangan Orba, Radius Prawiro melantik Bambang Soejarto sebagai pimpinan Bea Cukai yang baru.

Penunjukkan Bambang Soejarto juga untuk mengisi kekosongan jabatan pimpinan Bea Cukai sehabis Wahono terpilih sebagai Gubernur Jawa Timur. Radius percaya Bea Cukai dapat berubah.

Bambang Soejarto dianggap mampu memerangi penyelewengan dan penyelundupan di Bea Cukai sampai akar-akarnya. Sekalipun niatan itu tak banyak berhasil. Sebab, pemerintah Orba lebih memlih membekukan Bea Cukai dibanding terus menggunakan jasanya pada 1985.

“Bambang Soejarto Dirjen Bea Cukai. Menteri Keuangan Drs Radius Prawiro tgl. 29 Agustus melantik Brigjen TNI Bambang Soejarto menjadi Direktur Jenderal Bea Cukai Departemen Keuangan. la menggantikan Letjen (Pur) Wahono yang terpilih jadi Gubernur Jawa Timur. Brigjen Bambang Soejarto sebelum itu adalah perwira tinggi Departemen Hankam, pernah jadi Wakil Komandan Pusat Artileri Medan, Wakil Komandan Satuan Tugas Skrining Pusat Kopkamtib dan perwira tinggi Intel Hankam,” tertulis dalam laporan Majalah Kekaryaan ABRI (1983).