JAKARTA - Musim kemarau panjang kerap mengundang segala macam wabah penyakit di Batavia (kini: Jakarta). Kondisi itu terjadi karena penjajah Belanda abai terhadap lingkungan hidup. Angka kematian meningkat. Demikian pula dengan yang jatuh sakit.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda tak tinggal diam. Mereka melanggengkan segala macam cara. Bahkan, Belanda menganggap fenomena debu yang menyelimuti Batavia sebagai medium berkembangnya penyakit. Opsi penyemprotan jalanan lalu dipilih sebagai pilihan utama.
Boleh jadi keuntungan adalah kata yang paling awal hadir dalam kamus penjajahan Belanda. Sikap serakah itu membuat mereka melanggengkan segala cara untuk meraih keuntungan. Pembukaan lahan untuk sawah dan perkebunan di Batavia jadi ajian.
Anehnya maskapai dagang Belanda, VOC selalu merasa tak cukup. Kompemi lalu mencari tambahan penghasilan lewat pemberian izin membangun pabrik. Dari pabrik penyulingan arak, candu (opium), hingga mesiu. Tindakan itu nyatanya membawa masalah baru.
Bak pribahasa apa yang kau tanam itu yang kau tuai. Kompeni dipaksa pasrah dengan hadirnya wabah panyakit –kolera dan malaria-- di Batavia. Segenap wabah itu menyebar dengan membabi buta ke seantero Batavia. Utamanya, kala kemarau tiba.
Kompeni tak tinggal diam. Mereka mencoba menggelorakan penanggulangan wabah penyakit. Segala macam ajian dicoba. Namun, tindakan Kompeni yang setengah-setengah membuyarkan segalanya. Angka kematian pun meningkat.
Kondisi itu membuat rumah sakit dan pemakaman bak berlomba-lomba untuk penuh. Masalah wabah penyakit pun tak kunjung selesai kala Kompeni digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Empunya kuasa mulai mencurigai Batavia yang diselimuti debu sebagai biang tersebarnya wabah panyakit.
Kondisi itu dianggap wajar karena jalanan di Batavia banyak yang belum beraspal pada 1900-an. Keinginan membangun banyak jalanan beraspal kemudian digaungkan oleh segenap warga Batavia untuk mengurangi debu.
“Mobil di zaman kita adalah kendaraan yang paling disayangi oleh para petinggi dan kaum kapitalis. Sekarang ini, tentu saja, apa yang dianggap paling kuasa, dan ke arah mana semua kekuatan dan semua waktu dihabiskan, adalah perbaikan jalan. Jalan-jalan besar menjadi lebih baik, lebih indah, lebih lurus, dan lebih licin setiap harinya.”
“Langkah demi langkah sewaktu jalan itu diplester, dilapis beton dan kerikil dengan cara yang paling maju, tumbuh pula bukit-bukit kerikil. Sudah pasti bahwa beginilah masa depan: bahkan jalan desa dan semua jalan kampung. tak ada jalan yang terlalu kecil untuk dibuat menjadi lebih besar, lebih lebar, lebih menarik, dan lebih licin,” terang Mas Marco Kartodikromo sebagaimana dikutip Rudolf Mrazek dalam buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006).
Jalanan Disiram Pagi-Sore
Pemerintah kolonial Hindia Belanda telah melanggengkan pembangunan jalan beraspal di Batavia pada era 1910-an. Masalahnya cuma satu. Pembangunan yang dilakukan begitu terbatas. Alih-alih menambah anggaran untuk membuat jalan beraspal, Belanda justru memikirkan solusi lebih murah.
Agenda penyiraman pagi-sore dipilih sebagai solusi biar Batavia tak berdebu. Penjajah Belanda lewat Dewan Kota Batavia kemudian merekrut kaum bumiputra untuk jadi tukang semprot. Mereka kemudian dibekali alat semprot yang digunakan untuk mengambil air di Kali Ciliwung dan menyemprot jalanan Batavia.
Tukang semprot bekerja bak tidak ada hari libur. Mereka hanya dapat libur dengan bersyarat. Pertama, Batavia sedang diguyur hujan berarti libur sehari. Kedua, tukang siram akan libur lebih lama kala Batavia banjir besar.
Jumlah tukang siram pun semakin bertambah seiring waktu. Pun demikian pula dengan peralatannya. Pada era 1920-an, misalnya. Penyemprotan jalan tak melulu menggunakan tenaga tukang siram. Pemerintah kolonial sudah melibatkan truk untuk membantu agenda penyiraman.
Ajian itu dianggap berhasil untuk mengurangi debu dan wabah penyakit tak berkembang di Batavia. Belakangan, penyemprotan jalan mulai ditinggalkan penjajah Belanda. Semuanya karena jalanan beraspal mulai hadir di seantero Batavia. Kehadiran jalan aspal itu membuat Jakarta tak lagi diselimuti debu seperti jalanan yang belum beraspal.
“Konon debu jalan di Batavia selain berasal dari hasil endapan tanah rendah yang subur juga berasal dari debu vulkanik letusan gunung Krakatau tahun 1883. Selain diguyur air, jalan di Batavia juga disiram dengan minyak tanah. Penyiraman dengan minyak tanah ini hanya sebentar karena dihentikan setelah harga minyak tanah melambung dan merasa sayang untuk dibuang buang percuma.”
“Urusan penyiraman dan pembersihan jalan dilakukan oleh Reinig-en Besproeiingsdienst atau Dinas Pembersihan dan Penyiraman di wilayah Gemeente Batavia. Pada tahun 1921 Dinas itu telah memiliki 15 mobil pengangkut sampah dan tujuh unit mobil untuk penyiraman untuk masing-masing tujuh bagian kota. Wilayah lain yang belum ada mobil penyiraman, masih menggunakan tenaga manusia atau disiram oleh para pemukimnya sendiri,” terang Zeffri Alkatiri dalam buku Jakarta Punya Cara (2012).