Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 25 tahun yang lalu, 23 Agustus 1998, Partai Amanat Nasional (PAN) dideklarasikan di Istora Senayan Jakarta. Kehadiran PAN dianggap sebagai kendaraan baru meneruskan cita-cita reformasi. Utamanya, urusan kesejahteraan. Istimewanya lagi kehadiran PAN dikenal bak lokomotif politik Amien Rais dan 49 tokoh nasional.

Sebelumnya, Amien Rais jadi sosok menonjol yang menentang kuasa Orde Baru (Orba). Dominasi kekuatan Orba tak membuat nyali Amien Rais ciut. Keberaniannya pun membuatnya kerap dikenang sebagai oposisi yang berisik.

Eksistensi Orde Baru mulai banyak ditentang di akhir kuasanya. Segenap tokoh bangsa mulai sadar kekuasaan Orba melulu mendatangkan mudarat, ketimbang manfaat. Amien Rais, salah satunya. Ia menilai Orba sebagai suatu gerbong pemerintahan korup nan represif.

Alih-alih memikirkan rakyat, penguasa justru sibuk memperkaya diri sendiri. Amien pun bersuara dalam setiap forum. Segenap rakyat Indonesia memberikan cap oposisi yang berisik kepadanya. Aksi Amien menentang kuasa Orba semakin meningkat kala memasuki 1998.

Tahun itu dianggap puncaknya resesi ekonomi yang menyengsarakan rakyat Indonesia. Aktivis, mahasiswa, dan segenap rakyat Indonesia mulai tergerak melanggengkan perlawanan terhadap Soeharto dan Orba.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menjabat berjalan melewati lambang Partai Amanat Nasional (PAN). (Antara)

Amien Rais dengan tokoh lainnya --dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga Megawati Soekarnoputri-- meminta Soeharto turun. Suara mereka menggelora ke mana-mana. Aksi turun ke jalan pun dilanggengkan terus menerus oleh cendikiawan, mahasiswa, hingga aktivis.

Amien mendukung penuh aksi itu. Ia sama sekali tak gentar. Ia bak memahami kapasitasnya sebagai pemimpin Ormas Islam, Muhammadiyah. Kepemimpinannya membuat Orba hati-hati dengan Amien. Puncaknya, Amien Rais kemudian dikenal sebagai lokomotif gerakan 1998.

“Pada tahap ini, Amien Rais berbicara makin keras menentang Soeharto dan menuntutnya agar turun dari kursi kepresidenan. Ia meminta Gus Dur dan Megawati untuk bergabung dalam suatu garis depan melawan Soeharto, tetapi Gus Dur tetap menolak sambil mengatakan bahwa sumber-sumber ABRI telah memberikan peringatan kepadanya.”

“Dan bahwa konfrontasi berdarah pasti akan terjadi seandainya mereka secara terbuka melawan Soeharto. Secara pribadi, Gus Dur mengatakan bahwa ia percaya Prabowo dan preman-premannya bersama dengan kaum Islamis radikal dapat melakukan apa saja, untuk tujuan mereka,” terang Greg Barton dalam buku Biografi Gus Dur (2003).

Orba pun runtuh karena gelora protes yang kian membesar. Amien Rais dan 49 tokoh nasional berencana meneruskan cita-cita reformasi. Mereka kemudian memikirkan kehadiran sebuah partai baru sebagai kendaraan politik. Tujuannya supaya Indonesia lebih baik.

Partai Amanat Nasional (PAN), namanya. PAN yang tak pernah lepas dari sosok Amien itu kemudian dideklarasikan pada 23 Agustus 1998. Deklarasi itu disambut dengan gegap gempita oleh ribuan orang yang hadir di Istora Senayan. Kehadiran PAN pun digadang-gadang sebagai alat perjungan rakyat meraih kedaulatan, demokrasi, kemajuan, dan keadilan sosial.

“Saudara sekalian yang saya hormati dan saya cintai, alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan berkah-Nya sehingga pada hari ini, 23 Agustus 1998, atas izin-Nya kita berhasil melahirkan sebuah partai politik baru: Partai Amanat Nasional. Sebagaimana dikatakan dalam prinsip dasarnya, Partai Amanat Nasional adalah partai politik yang memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, kemajuan, dan keadilan sosial.”

“Cita-cita partai ini berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan. 53 tahun sudah kita memproklamasikan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Akan tetapi, dalam kurun waktu setengah abad lebih itu, kemerdekaan dan kedaulatan bangsa itu tidak kita tunaikan sebagai amanat dalam arti kata sebenarnya. Malahan seringkali kemerdekaan itu kita isi dengan penegakan otoriterisme, pembudayaan feodalisme,” ungkap Amien Rais saat deklarasi PAN sebagaimana dikutip dalam buku Amien Rais: Dari Yogya ke Bina Graha (1999).