Bagikan:

JAKARTA - Korupsi kerap menghantui sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Era Orde Lama dan Orde Baru (Orba), apalagi. Praktek penyelewengan uang negara pernah dianggap biasa. Kondisi itu membuat segenap tokoh bangsa prihatin. Mereka ingin koruptor ditindak.

Narasi itu diseriusi oleh era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kemudian, usaha pemberantasan korupsi dilanjutkan Megawati Soekarnoputri. Ia mendirikan sebuah lembaga. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namanya.

Boleh jadi Indonesia berhasil melawan penjajah. Namun, Indonesia tak pernah berhasil menyetop perilaku korup pejabat negara. Urusan itu pemerintah Indonesia tak pernah menang. Ajaibnya mereka --pejabat korup-- justru terus meraih kemenangan dan melanglang buana di pentas politik.

Di era Orde Lama, misalnya. Pejabat korup tampak ogah memikirkan nasib rakyat. Sebab, satu-satunya yang mereka pikirkan adalah keuntungan. Kondisi itu tak jauh beda kala pemerintahan berganti dari Orde Lama ke Orde Baru.

Praktik korupsi bahkan jauh lebih buruk. Jikalau korupsi era Orde Lama dilanggengkan di bawah meja, maka Orba sudah sedikit terang-terang. Alias di atas meja. Ajian memperkaya diri dengan ‘makan’ duit rakyat itu terus langgeng karena pemerintah kurang tegas terhadap pejabat korup.

Megawati Soekarnoputri, pendiri KPK yang juga sempat meminta pembubaran lembaga tersebut pada tahun 2015. (pdiperjuangan.id)

Praktik korupsi yang merajalela lalu membuat beberapa tokoh bangsa prihatin. Mari’e Muhammad, salah satunya. Menteri Keuangan era 1993-1998 yang dikenal bersih itu kemudian meminta pemerintah untuk membentuk sebuah lembaga khusus untuk membuat pejabat kapok korupsi.

Keinginan itu sempat digaungkan pada era pemerintahan Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie. Namun, baru mendapatkan titik terang pada era Presiden Gus Dur. Ia mendukung sekali keinginan hadirnya sebuah lembaga khusus menangani korupsi. KPK, namanya.

Gus Dur lalu menulis dan menandatangani sebuah surat ke DPR. Surat yang bernomor R-13/PU/VI/2001 itu berisi narasi pengantar pembentukan UU KPK bertanggal 5 Juni 2001.

“Bahkan mungkin ada yang belum tahu, siapa yg menandatangani surat ke DPR-RI untuk pembentukan UU KPK saat itu. Surat Presiden tertanggal 5 Juni 2001 yg ditandatangani oleh: Abdurrahman Wahid. Itu dulu saja ya. Saya ceritakan ini karena menyimak timeline Twitter akhir-akhir ini dan tersentuh sekali membaca kisah Alm. Gus Dur. Sesungguhnya beliau meletakkan satu dasar penting di negeri ini: KPK,” terang Jubir KPK era 2016-2020, Febri Diansyah dalam akun Twitternya @febridiansyah, 6 Januari 2020.

Megawati Membangun KPK

Ajian Gus Dur boleh dikatakan berhasil. Namun, Gus Dur justru keburu lengser. Nasib membentuk KPK kian simpang siur. Megawati Soekarnoputri yang mengantikan Gus Dur lalu muncul bak juru selamat.

Anak dari Soekarno itu tak sudi melihat banyak institusi dalam pemerintahannya yang terlalu kotor. Apalagi, praktik korupsi dengan metode tukar barang, tukar otoritas, administrasi ganda, retorika birokrasi, dan lain-lainnya terus menjamur.

Presiden Megawati pun mulai menunjukkan keseriusan memerangi korupsi. Narasi pembentukan KPK era Gus Dur mulai digodoknya ke dalam produk Undang-Undang (UU). Sebuah UU yang mengamanatkan dibentuknya KPK.

Hasilnya, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi pun lahir pada 27 Desember 2002. Momen itu resmi jadi hari kelahiran KPK. Megawati dengan tegas melanggengkan KPK sebagai lembaga independen.

Peresmian gedung baru KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan oleh Presiden Joko Widodo yang dihadiri dua mantan Presiden RI, B.J. Habibie dan Susilo Bambang Yudhoyono serta mantan Wapres Hamzah Haz. (Antara/Widodo S. Jusuf)

Semuanya supaya KPK dalam melaksanakan tugas tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lain. Kemudian, berdirinya KPK jadi penanda era baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Sekalipun kemudian banyak kekuatan yang ingin menggembosi KPK.

“Didirikan atas perintah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 pada 27 Desember 2002, jalan KPK memang panjang dan berdarah. Dimulai dari nol, lembaga ini pelan-pelan menyiapkan diri. Tim pengintai, yang selama ini hanya dimiliki polisi, tentara, dan badan intelijen, dibentuk. Tim dengan dukungan teknologi tinggi ini belakangan terbukti mujarab menangkap tangan para koruptor.”

“Para penyidik direkrut, termasuk dari kepolisian dan kejaksaan-dua lembaga yang selama ini juga tak dikenal bersih. Sistem dibentuk, standar operasi disusun, termasuk dengan cara mengawasi para pekerja KPK dengan saksama. Pengawasan dan indoktrinasi internal membuat "yang buruk" bisa dijadikan "baik". Polisi dan jaksa yang bekerja di KPK pelan-pelan menyadari bahwa korupsi tak bisa terus-menerus dilindungi,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Sebuah Ikhtiar Satu Dasawarsa (2012).