Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 22 tahun yang lalu, 24 Juli 2001, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Front Pembela Islam (FPI) menolak keras kepemimpinan Presiden Indonesia Wanita. Penolakan itu karena empunya kuasa telah menentukan sosok Megawati Soekarnoputri sebagai orang nomor satu Indonesia yang baru.

Sebelumnya, peran Megawati sebagai oposisi Orde Baru (Orba) memancing perhatian. Segenap rakyat Indonesia pun menganggapnya sebagai tokoh perubahan, sebagaimana jasa bapaknya, Soekarno.

Megawati adalah salah satu tokoh yang menonjol di era Orba. Keberanian Megawati menentang kuasa Orba ada di baliknya. Narasi itu membuat popularitas Megawati sebagai anak pemimpin besar revolusi, Bung Karno meningkat. Apalagi kala Megawati menjadi pemimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI) secara de facto pada 1993.

Ia yang awalnya tak menarik perhatian dunia politik, kemudian menggoyang kuasa Orba. Megawati dianggap seorang yang berpotensi menggoyang kuasa Orba. Empunya kuasa tak tinggal diam. Ragam ajian dimainkan untuk menjatuhkan Megawati.

Namun, tiada siasat yang membuat nyali Megawati jadi mengendur. Kritik terhadap kepemimpinan Orba yang tak berpihak rakyat terus disuarakannya. Pun Orba ketiban sial. Resesi ekonomi 1997-1998 muncul bak ombak yang menyapu bersih kuasa Orba.

Berakhirnya Kuasa Orba membuat nama Megawati diunggulkan jadi Presiden Indonesia yang baru. Harapan itu tak kunjung terwujud karena Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang lebih dulu mengisi posisi ‘nakhoda’ Indonesia.

Muhammad Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam (FPI) ormas yang sudah dibubarkan Pemerintah RI pada Desember 2020. (VOI/Irfan Meidianto)

Posisi Megawati hanya mentok sebagai Wakil Presiden Indonesia menemani Gus Dur. Mimpi Megawati pun baru terwujud ketika Gus Dur berkali-kali melakukan blunder. Gus Dur dilengserkan MPR RI dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia.

Megawati kemudian menggati posisinya. Pun Megawati jadi wanita pertama dalam sejarah yang menjadi orang nomor satu Indonesia.  

“Bersyukur, Gus Dur meminta dan mendukung pemilihan di MPR RI Ibu Megawati menjadi wakil presiden. Setelah Gus Dur di-impeach, maka otomatis sesuai UUD 1945, Ibu Megawati sebagai wakil presiden dilantik menjadi presiden Indonesia pada 23 Juli 2001. Dan, sesuai konsensus Pak Hamzah Haz, ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terpilih menjadi wakil presiden.”

“Ibu Megawati menjadi presiden RI tidak karena proses pemilihan tetapi karena Gus Dur dijatuhkan. Karena kasus tersebut, Ibu Megawati yang mengusulkan merancang Undang-Undang untuk pemilihan presiden berikutnya dan gubernur serta bupati/walikota secara angsung oleh rakyat. Karena itulah Ibu Megawati disebut Ibu Demokrasi,” terang Siswono Yudo Husodo dalam buku Negeri Ribuan Pelangi: Transformasi Menuju ke Sistem yang Lebih Baik (2022).

Pelantikan Megawati disambut dengan gegap gempita. Kepemimpinan Megawati kemudian disejajarkan dengan perempuan hebat dari negara lainnya, seperti Benazir Bhutto atau Margaret Thatcher. Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005), Ahmad Syafii Maarif, apalagi.

Pria yang akrab disapa Buya Syafii menyebut Megawati mampu menerabas anggapan lama. Sosok Megawati dianggapnya mampu meruntuhkan anggapan kuno tentang peran wanita yang melulu lihai urusan dapur.

Namun, tak semua organisasi Islam melanggengkan puja-puji. FPI, misalnya. DPP FPI menolak keras kalangan wanita hadir sebagai Presiden Indonesia sehari setelah pelantikan Megawati, atau pada 24 Juli 2001. Agama Islam melarang wanita jadi pemimpin, katanya.

FPI kemudian melanggengkan sikapnya dengan menegaskan bahwa Al Quran, Hadis dan juga jumhur (golongan terbanyak) ulama dengan jelas melarang presiden dari kalangan wanita. Seorang pria yang harusnya menjadi Presiden Indonesia, bukan wanita. Sikap itu sebenarnya bukan barang baru. sebab, FPI telah menolak wanita sebagai Presiden pada tahun-tahun sebelumnya.

“Gus Dur kehilangan dukungan dari partai-partai Islam utama yang awalnya mendukung pemerintahan dan dia lengser pada Juli 2001. Gus Dur kehilangan pula dukungan dari MPR RI. Beberapa politisi yang sebelumnya mendukung, termasuk Hamzah Haz, tak lagi menaruh minat. Pemimpin Partai Persatuan Pembangunan (PPP) justru dengan senang hati menjadi Wakil Presiden mendampingi Megawati.”

“Bagaimanapun, sejumlah kelompok Islam, utamanya FPI terus memilih berseberangan pandangan dengan kebanyakan pemimpin partai dan tokoh Islam. Mereka menolak keras kehadiran wanita sebagai Presiden Indonesia.” terang Kathryn Robinson dalam buku Islamic Perspectives on the New Millennium (2004).