Bagikan:

JAKARTA - Bisnis rokok kerap mendapatkan tempat di Nusantara. Produknya selalu laris manis. Berbagai macam kalangan bahkan jadi pelanggan tetap sigaret kretek maupun sigaret putih. Narasi itu membuat pertumbuhan pabrik dan konsumen rokok meningkat tajam di era Orde Baru (Orba).

Semuanya berubah ketika rokok mulai jadi kambing hitam ragam penyakit mematikan. Riset-riset medis bahaya rokok sempat mengagetkan perokok di seantero negeri. Namun, pabrik rokok bersiasat. Mereka melanggengkan ajian mensponsori banyak kegiatan pengobatan gratis.

Tiada yang tak mungkin dalam bisnis rokok. Sigaret kretek atau sigaret putih. Bisnis itu mampu membawakan keuntungan melimpah kepada siapa saja pemilik bisnis. Narasi untung bejibun usaha rokok sudah dibuktikan seorang kaum bumiputra pada era Penjajahan Belanda.

Narasi itu tambah istemewa lagi karena seorang bumiputra itu memiliki anak buah kulit putih. Suatu hal yang dianggap kegilaan –karena tak mungkin—di zaman Belanda. Sosok itu adalah Nitisemito, pemilik pabrik rokok dengan cap Bal Tiga di Kudus, Jawa Tengah.

Kesuksesaan Nitisemito pun menginsiprasi kaum bumiputra dan keturunan China untuk ikut berbisnis rokok. Hasilnya gemilang. Banyak industri rumahan hingga kemudian pabrik rokok bertumbuh dan kuat. Resesi ekonomi saja tak mampu membuat bisnis rokok menurun – resesi ekonomi 1930-an dan 1960-an.

Rokok banyak digemari berbagai kalangan di Nusantara, dari sigaret kretek hingga sigaret putih. (Wikimedia Commons)

Pabrik rokok lalu ramai bermunculan ketika Indonesia merdeka. Sekalipun bisnis rokok Nitisemito telah hancur lebur dan tak tersisa. Industri rokok terus berkembang dan mencocok diri dengan selera zaman. Iklan-iklan kreatif kerap dilanggengkan untuk meluaskan pangsa pasar konsumen rokok.

Pada era Orba, utamanya. Pemerintah Orba bak mendukung industri rokok. Semua karena rokok mampu menghasilkan keuntungan bejibun melalui geliat cukai. Saban hari peminat rokok, terutama rokok kretek makin meningkat. Eksistensi itu dibuktikan dengan produksi rokok kretek yang kian meningkat tiap tahunnya.

“Produksi kretek memang berfluktuasi, namun kecenderungannya lebih sering terjadi peningkatan. Menurut data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), periode 1959-1970 relatif stabil dan produksi tertinggi terjadi tahun 1967 dengan jumlah 23.165.132.067 batang. Tiga tahun kemudian (1970) jumlah ini menurun hingga tinggal 18.147.835.339 batang. Untuk periode 1971-1983 rata-rata produksi naik sekitar 11,18 persen per tahun.”

“Tahun 1973 jumlahnya sudah mencapai 30.221.663.229 batang, dan sepuluh tahun kemudian sudah menjadi lebih dari dua kali lipatnya, yaitu pada 1983 sebanyak 65.210.612.738 batang. Tajamnya peningkatan produksi itu antara lain dipacu penerapan filter untuk kretek yang dimulai tahun 1970, disertai penampilan kemasan yang semakin oke. Kretek pun berhasil memikat konsumen 'gedongan' sekaligus menggusur dominasi sigaret putih di kalangan konsumen elite,” terang J.A. Noertjahyo dalam buku 1000 Tahun Nusantara (2000).

Pengobatan Gratis

Eksistensi bisnis rokok era orba memang menggiurkan. Namun, sisi yang lainnya banyak aktivis dunia mulai gencar melanggengkan kampanye anti rokok pada era 1970-an. Kampanye itu dikumandangkan karena gaya hidup perokok dianggap sebagai biang keladi munculnya suatu penyakit mematikan.

Merokok dapat menyebakan ragam penyakit. Dari penyakit jantung hingga kanker. Dampaknya tak main-main. Perokok pasifnya dapat terkena penyakit parah. Sesuai bahasa riset medis, orang-orang bisa meninggal dunia karena rokok. Kampanye anti rokok pun membuat gusar pabrik-pabrik rokok di Nusantara.

Namun, bukan pabrik rokok namanya jika langsung kehilangan akal. Narasi penyebaran dampak negatif dari rokok langsung dibalas dengan gebrakan besar pengusaha rokok. Mereka melanggengkan kepedulian sosialnya dengan mensponsori berbagai macam kegiatan positif.

Pabrik rokok lalu banyak mensponsori dan melanggengkan program pengobatan gratis bagi para konsumennya. Program itu dilanggengkan untuk melawan stigma negatif kampanye anti rokok. Program pengobatan yang dilakukan pabrik rokok pun bermacam-macam. Dari penyobatan penyakit Tuberkulosis (TBC) hingga bibir sumbang. Kegiatan itu disinyalir sebagai bentuk perlawanan kampanye anti rokok dan melawannya dengan kampanye pengobatan gratis.

Pengobatan gratis untuk warga Kediri, Jatim oleh Perusahaan Rokok Gudang Garam. (Antara/Asmaul Chusna)

“Berkaitan dengan hal itu, maka perusahaan rokok besar beramai-ramai melakukan program rehabilitasi kesehatan untuk melawan stigma negatif dan gerakan pelarangan merokok ini. Program-program pelayanan kesehatan yang disponsori pabrik-pabrik rokok.”

“Program itu di antaranya pengobatan gratis massal penyakit TBC, pengobatan gratis operasi bibir sumbing, pengobatan gratis operasi penyakit mata katarak, program sanitasi dan sumur resapan, pencegahan demam berdarah, donor darah massal, dan lain-lain yang dilakukan antara lain PT Gudang Garam, PT. Djarum, dan PT. Norojono,” ujar Bedjo Riyanto dalam buku Siasat Mengemas Nikmat: Ambiguitas Gaya Hidup dalam Iklan Rokok Di Masa Hindia Belanda sampai Pasca Orde Baru 1925-2000 (2019).