Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 401 tahun yang lalu, 20 Juli 1622, maskapai dagang Belanda, VOC melarang seluruh pejabatnya memelihara budak wanita atau gundik. Aturan itu dilanggengkan untuk 'membersihkan' seisi Batavia dari penyakit moral.

Semua karena pergundikan banyak mudaratnya. Dari penyakit kelamin hingga aborsi. Sebelumnya, kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen terkenal sebagai polisi moral. Gubernur Jenderal VOC itu tak ingin laku hidup orang Belanda di koloni tercemar oleh keburukan.

Kompeni dan perbudakan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Orang Belanda membutuhkan jasa para budak untuk membangun negeri koloni. Dalam pembangunan Batavia, misalnya. Belanda menyadari kekuatan para tuan kulit putih terbatas. Mereka tak mampu bekerja keras karena perbedaan iklim.

Orang Belanda jadi tak dapat mengerjakan banyak hal. Utamanya pekerjaan kasar. Siasat pun muncul. Jasa budak jadi solusi. Kompeni pun melihat keinginan itu sebagai kemujuran. Apalagi, Kompeni kemudian bertindak sebagai pedagang yang menyuplai budak.

Hasilnya gemilang. Kompeni dapat membangun apa saja dengan memanfaatkan tenaga budak. Budak dapat membantu aktivitas di rumah hingga di perkebunan. Semua karena budak memiliki kemampuan yang besar karena cocok dengan iklim setempat.

Kehidupan di Batavia pada masa penjajahan VOC. (Wikimedia Commons)

Bakat itu membuat VOC terus mendatangkan budak. Kadang kala Kompeni mencari budak ke luar negeri, kadang kala Kompeni mencari budak di wilayah Nusantara. Kebanyakan budak pun disuplai dari Kerajaan yang menang perang. Mereka biasanya menjual budak dari pihak yang kalah.

“Para budak merupakan satu-satunya kelompok populasi terbesar di Batavia hingga paruh terakhir abad ke-18. Namun, karena berasal dari berbagai tempat, hanya status merekalah yang menjadi semacam penyatu. Hukum VOC melarang mengambil orang Jawa sebagai budak karena mereka takut orang Jawa akan bersatu melawan orang Eropa. Untuk pekerjaan kasar, VOC lebih menyukai mengimpor budak dalam jumlah besar dari luar.”

“Hal tersebut memberikan keuntungan terhadap keamanan karena para budak dari tempat yang jauh dan beragam memiliki kemungkinan kecil untuk bersatu. Pada mulanya, budak-budak ini kebanyakkan didatangkan dari Asia Selatan yang terdapat koneksi perdagangan VOC,” ungkap Susan Blackburn dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2012).

Kedatangan budak nyatanya membawa masalah baru. Sekalipun kehadiran budak banyak menguntungkan. Kondisi itu mulai tercium oleh Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen.

Masalah perbudakan itu bermuara dari pejabat VOC yang kerap memanfaatkan jasa budak wanita untuk dijadikan gundik. Budak wanita dipaksa untuk melayani tuan kulit putih dari urusan dapur hingga ranjang.

Potret kehidupan warga Batavia di masa VOC dalam karya pelukis kenamaan, Johannes Rach. (Wikimedia Commons)

Kuasa itu membuat moral pejabat Belanda jadi anjlok. Bahkan, jatuh kepada level terendah. Pergundikan yang dilanggengkan justru membuat angkat pejabat terkena penyakit kelamin dan aborsi meningkat.

Kondisi itu membuat Jan Pieterszoon Coen berang. Coen menganggap tindakan pejabat Belanda menjadikan budak wanita sebagai gundik adalah perbuatan tercela. Coen pun melarang seluruh pejabat VOC untuk melanggengkan pergundikan pada 20 Juli 1622. Barang siapa yang melanggar, hukuman berat menanti. Bahkan, bisa kena hukuman mati.

“Oleh sebab itu, dua tahun kemudian tanggal 20 Juli 1622 dikeluarkan lagi aturan yang lebih keras. Masalahnya di sini adalah karena tidak banyak wanita Eropa/Belanda yang ikut datang ke koloni di timur jauh, mengingat perjalanan yang sulit dan makan waktu berbulan-bulan. Sekalipun mulai ada wanita Belanda datang ke Batavia sejak tahun 1622.”

“Namun, jumlahnya masih terlalu sedikit. Apalagi mereka itu umumnya gadis yatim-piatu atau berasal dari keluarga miskin yang datang ke koloni untuk menjadi istri para prajurit atau pegawai VOC. Jadi mustahil larangan untuk bergaul dengan wanita setempat akan efektif, terutama di kalangan pegawai rendah atau serdadu VOC,” terang Mona Lohanda dalam buku Sejarah Para Pembesar yang Mengatur Batavia (2007).