Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 300 tahun yang lalu, 16 Juni 1722, Gubenur Jenderal VOC Hendrick Zwaardecroon (1718–1725) melarang penebangan pohon di Priangan. Tak main-main, ia melarang aktivitas penebangan dalam kurung waktu 15 tahun.

Zwaardecroon beralasan pembangunan yang dilakukan maskapai dagang Belanda VOC di Nusantara terlampau masif. Karenanya, populasi pohon, utamanya jati semakin sedikit. Sebagai opsi, larangan itu diberlakukan supaya pohon-pohon baru segera tumbuh dengan kualitas kayu yang tinggi.

Perihal membangun sebuah kota tak pernah mudah. Maskapai dagang Belanda, VOC pernah kelabakan karenanya. Keinginan VOC membangun Kota Batavia tak sepenuhnya berjalan mulus. Empunya kekuasaan harus segera mencukupi kebutuhan bahan bangunan. Kayu, salah satunya.

VOC pun bersiasat. Pembalakan hutan digaungkan. Aktivitas itu terus berlangsung dalam waktu yang lama. Tiada jeda. Semuanya karena VOC melulu memikirkan keuntungan, sementara segi ekologis diabaikan. Setelahnya, kayu pun jadi komoditas dagang yang besar di Batavia.

Aktivitas penebangan hutan di masa penjajahan Belanda. (Wikimedia Commons)

Pembalakan hutan pun semakin ramai. Kemunculan ragam industri dan pembukaan lahan pertanian jadi penyebab lainnya. Eksploitasi secara berlebihan pun mengundang masalah. Banjir jadi yang paling utama. Masalah itu acap kali menyapa penduduk Batavia. Pun banjir sering kali merepotkan tiap gubernur jenderal yang menjabat.

Empunya kuasa pun putar kepala mencari solusi. Namun, tiada ide yang ampuh membendung masalah lingkungan itu. Apalagi, bencana banjir kerap dibarengi dengan masalah iklim di Batavia jadi kurang sehat. Musababnya jelas.  Kehadiran pabrik-pabrik yang mulai tumbuh subur.

“Penebangan pohon demi perusahaan gula dan terlebih lagi penanaman padi yang memerlukan irigasi, berdampak cukup besar terhadap sungai. Setiap tahun didatangkan sekelompok ‘orang Jawa lumput’ dari Cirebon untuk mengeruk parit dank anal, tetapi mereka tidak mampu menahan pendangkalan; garis pantai cepat bergeser,” kata Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Kekuasaan VOC makin hari makin meluas. Apalagi kala VOC menaklukkan Kesultanan Cirebon pada 1681. Empunya kekuasaan pun memanfaatkan perluasan wilayah itu dengan menjadikan kawasan Priangan (dari Cirebon hingga Bandung) untuk mengeksploitasi kayu.

Kopi adalah komoditas penting bagi VOC selama berkuasa di Priangan, sebab itu industri pengolahan biji kopi sangat berkembang. (Wikimedia Commons)

Kebijakan itu nyatanya tak jauh beda dengan yang terjadi di Batavia. Pembalakan hutan acap kali berakhir dengan bencana. Karenanya, VOC ambil sikap. Gubernur Jenderal VOC, Hendrick Zwaardecroon lalu melarang pembalakan liar atau moratorium hutan di Bumi Priangan selama 15 tahun. Aturan itu dikeluarkan VOC pada 16 Juni 1722.

"Semua penebangan kayu di daerah Priangan harus dihentikan selama 15 tahun, atas permohonan bersama para kepala rakyat di Priangan, bukan saja untuk menberi istirahat kepada para penebang kayu yang sudah lelah dan hidup terpencil, tetapi juga supaya pohon-pohon muda di tepi sungai yang masih ada, dapat tunbuh menjadi kayu yang layak pakai,” bunyi aturan tersebut sebagaimana ditulis Noer Fauzi Rachman dalam buku Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran (2022).

Pelarangan penebangan hutan di Priangan oleh VOC menjadi bagian dari sejarah hari ini, 16 Juni 1722 di Nusantara.