JAKARTA - Prinsip keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia acap kali bermasalah. Banyak kasus hukum yang tak memiliki tingkat urgensi tinggi justru ditanggapi serius. Kasus anak SMKN 3 Kota Palu yang dituduh mencuri sandal jepit, misalnya. Siswa berinisial AAL itu bahkan dituntut lima tahun penjara. Segenap rakyat Indonesia pun berang. Mereka berinisiasi mengumpulkan 1.000 sandal jepit. Sebagai simbol ketidakadilan, pikirnya. Sandal jepit itu pun ingin diberikan kepada Kapolri Jenderal Timur Pradopo.
Tajam ke bawah tumpul ke atas. itulah narasi yang kerap terdengar ketika berbicara hukum Indonesia. Penegakan hukum tanpa pandang bulu, atau semuanya atas dalil efek jera tampaknya hanya berlaku pada kalangan terbatas. kalangan itu adalah kalangan bawah. Sedang kalangan elitis dengan kasus kejahatan serius yang merugikan negara triliunan rupiah justru dihukum ringan.
Apalagi beberapa di antaranya (seperti Gayus Tambunan) dapat melenggang-langgeng keluar masuk penjara. Beda hal dengan kasus Nenek Minah yang mengambil tiga biji kakao dari sebuah kebun di Banyumas pada 2009. Nenek Minah langsung diseret ke meja hijau. Ancaman hukumannya tak main-main. Enam bulan penjara.
Ketidakadilan lainnya yang paling mutakhir muncul dari siswa SMK berinisial AAL yang dituduh mengambil sandal jepit di palu pada 2010. Malang tak dapat ditolak. Sandal jepit yang diambil oleh AAL adalah milik seorang polisi Briptu Ahmad Rusli Harahap. Hakim Pengadilan Negeri Palu memvonis AAL lima tahun penjara karena telah bersalah mencuri sandal pada 2011.
Padahal, sandal jepit yang dicuri hanya berharga Rp35 ribu. Banyak yang menilai vonis itu tak adil. Empunya penegak hukum dianggap menerapkan kacamata kuda. Alias tak mau melihat AAL yang masih anak-anak.
“Harga sandal itu hanya Rp35 ribu, tetapi ancaman hukuman bagi pelajan bernama AAL itu lima tahun penjara. Adakah keadilan dalam kasus itu? Jelas tidak. Sejak awal AAL sudah mendapat perlakuan yang tak adil. Menurut orangtuanya, sang pelajar belia itu terpaksa mengaku mencuri sandal akibat penganiayaan yang dilakukan sang briptu.”
“Prosés hukumnya, sejak kejadian hingga persidangan pun, terbilang panjang. AAL disebut-sebut mencuri sandal sang polisi pada November 2010. Namun, dia baru menjalani persidangan setahun kemudian, sangat mungkin dalam setahun terakhir itu dia mengalami gangguan mental. Itu jelas bertentangan dengan UU No: 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang mengamanatkan proses hukum terhadap anak-anak harus berlangsung cepat untuk menghindari trauma psikologis,” ungkap Viktor Silaen dalam tulisannya di Tabloid Reformata berjudul S(K)andal Polisi (2012).
1.000 Sandal Jepit untuk Kapolri
Segenap rakyat Indonesia pun berang dengan ketidakadilan yang dipertontonkan penegak hukum di Palu. Tahun 2012 jadi puncaknya. AAL memang tak dipenjara, tapi selama proses hukum AAL mendapatkan perlakuan yang tidak berkeadilan. Karenanya, secara spontan rakyat Indonesia mengumpulkan 1.000 sandal jepit. Rencananya akan diberikan langsung kepada Kapolri Jenderal Timur Pradopo.
Sandal jepit itu dikumpulkan secara mandiri ke posko: 1.000 Sandal untuk Bebaskan AAL. Mereka yang menyumbangkan sandal jepit berasal dari pelosok negeri. termasuk dari negara tetangga. Rata-rata mereka prihatin dengan tumpulnya keadilan di Indonesia. Pun ada organisasi masyarakat yang peduli anak lebih dulu mengantarkan seratus sandal jepit ke Mabes Polri pada 15 Januari 2012.
"Ini untuk Mabes Polri kami membawa 100 sandal jepit sebagai bentuk ungkapan hati rakyat. Ini untuk mengingatkan Polri, sebenarnya kasus ini jadi momen penting. Banyak anak-anak di penjara. Masih ada banyak kasus yang serupa dengan ini," ujar Public Relation dari SOS Children Village Indonesia yang mewakili KPAI, Budhi Kurniawan sebagamana dikutip Kompas.com.
Masyarakat luas menganggap kasus AAL adalah tamparan keras bagi penegak hukum. Mereka ingin polisi lekas instrospeksi dan tidak mengulangi perbuatannya terhadap anak-anak di bawah umur. Alih-alih menegak hukum, polisi dianggap justru menampar mukanya sendiri karena tidak mempertimbangkan trauma yang diterima AAL.
Kemarahan itu makin menjadi-jadi karena kecewa pula dengan proses persidangan. Di salah satu persidangan, barang bukti (sandal jepit) yang dihadirkan justru bukan milik dari Briptu Ahmad Rusli Harahap. Artinya, sang anak divonis bersalah tanpa adanya bukti dia mencuri.
“Kiriman 1.000 pasang sandal jepit untuk Kepolisian Republik Indonesia merupakan bentuk protes terhadap kelakuan hamba wet. Sama seperti ketika publik mengumpulkan koin mencapai Rp 800 juta untuk Prita Mulyasari, yang diminta mengganti rugi Omni International Hospital Rp 312 juta karena dianggap mencemarkan nama gara-gara menulis email keluhan. Mahkamah Agung kemudian membebaskannya dari ganti rugi.”
“Sebenarnya, untuk kasus pencurian sandal jepit juga pulsa, biji kakao, dan lain-lain-polisi tak perlu berdalih bahwa tindak kriminal harus diproses untuk menimbulkan efek jera. Jaksa juga tidak harus beralasan: wajib meneruskan kasus dari polisi. Apalagi hakim tidak semestinya memvonis bersalah untuk anak pencuri sandal,” tertulis dalam laporan di Majalah Tempo berjudul Coreng-Moreng Vonis.