JAKARTA - Siti Hartinah atau yang akrab disapa Ibu Tien adalah penggagas Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Taman itu jadi cermin raksasa keberagamaan di Nusantara. Miniatur Indonesia, pikirnya. Orang-orang pun dapat menggali manfaat dari TMII. Mereka dapat melihat identitas Keindonesiaan dari tiap wilayah Nusantara.
TMII pun langgeng dikenang sebagai karya monumental. Sekalipun Ibu Tien telah tiada. Keluarga Cendana pun bersepakat. Sebagai bentuk cinta, masjid megah dibangun khusus mengenang Ibu Tien di area TMII. Masjid Agung At-Tin, namanya.
Ide bisa ditemukan di mana saja. Itu yang diamini oleh Ibu Tien kala berkunjung ke Amerika Serikat pada 1970-an. Ibu Tien melangsungkan kunjungan ke taman bermain Disneyland. Segala macam wahana dicobanya. Karenanya, muncul ide untuk membangun taman bermain yang sama.
Akan tetapi, Ibu Tien ingin membuat taman yang tak melulu sebagai wahana bermain. Tapi juga penuh pembelajaran. TMII namanya. Ia ingin TMII yang mulanya dikenal sebagai proyek Miniatur Indonesia Indah dapat mengenalkan keberagaman yang menjadi ciri khas Indonesia. Mimpinya besar. Ibu Tien ingin tiap pelancong yang melawat ke TMII dapat bangga menjadi bagian dari Indonesia.
Ada yang setuju saja dengan ide Ibu Tien. Ada pula yang mengaku tak setuju. Pun suara penolakan akan kehadiran TMII muncul di mana-mana. Kebanyakan orang tidak mempermasalahkan ide TMII. Masalahnya terletak pada prioritas pemerintah yang ingin dibangun di tengah ekonomi bangsa belum mambaik. Alias, banyak di antaranya hidup di bawah lingkup kemiskinan.
Ali Sadikin yang biasanya acap kali berseberangan dengan Soeharto justru tampil beda. Ia mendukung Ibu Tien Soeharto. Ia menegaskan tiada yang salah dengan pembangunan TMII. Gubernur DKI Jakarta itu menyebut TMII adalah bagian dari Jakarta mempercantik diri. Boleh jadi pro dan kontra yang mewarnai kehadiran TMII. Tapi pembangunan TMII jalan terus sejak 1972. Akhirnya, TMII pun diresmikan pada 20 April 1975.
“Yang jadi soal antara lain adalah keterangan Ibu Tien Soeharto, bahwa Proyek Taman Mini itu akan menelan biaya sebesar Rp1,5 miliar. Itu dianggap oleh para mahasiswa dan sejumlah tokoh masyarakat rencana yang amat mewah. Malahan kritik yang mereka mereka lontarkan menyebutkan bahwa itu merupakan proyek mercusuar.”
“Saya melihatnya lain. waktu saya berdialog dengan mereka saya terangkan, rencana pembuatan taman seperti itu sudah lama ada dalam master plan Jakarta. Itu sudah merupakan amanat rakyat. Dan saya pernah melihat hal yang serupa itu di luar negeri, antara lain di Bangkok, miniatur Thailand, sekalipun yang di Bangkok itu kecil, sederhana sekali. Di Manila pun saya pernah lihat,” kenang Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta: 1966-1977 (1992).
Masjid At-Tin
Eksistensi TMII terus langgeng. Sekali pun Ibu Tien telah tiada pada 1995. Tiap pengunjung seolah-oleh sudah berkeliling Indonesia jika sudah ke TMII. Pro dan kontra yang melatarbelakangi pembangunan TMII sebelumnya seakan sirna. Semua karena TMII mampu menjadi karya monumental di Ibu Kota Jakarta.
Setahun setelah kepergian Ibu Tien, Keluarga Cendana (Soeharto dan anak-anaknya) ingin menambah kemegahan TMII. Mereka ingin membangun sebuah masjid dalam area TMII untuk mengenang Ibu Tien. Pembangunan masjid ini adalah wasiat dari Ibu Tien sendiri sebelum meninggal. Masjid At-Tin, namanya.
Keluarga Cendana pun meneruskan wasiat itu. Sebagai bentuk kecintaan, masjid itu rencananya akan didirikan di tanah seluas 70.000 meter persegi. Arsitek yang terpilih mendesain masjid bukan sembarang orang. Keduanya adalah arsitek kenamaan tanah air (ayah dan anak), Fauzan Noeman dan Achmad Noeman.
Rancangan keduanya menghasilkan sebuah mahakarya besar sebagai bentuk kecintaan Keluarga Cendana kepada Ibu Tien. Masjid yang erat dengan sentuhan Turki itu terlihat megah dan modern. Apalagi masjid itu digadang-gadang dapat menampung sekitar 25.850 jemaah.
Nama masjid yang dipilih tak lain terinspirasi dari sebuah surah dalam Al Quran, At-Tin. Surah itu dianggap dapat memberikan pencerahan kepada manusia supaya dapat menjalankan hidup dengan sebaik-baiknya. Konon pula, nama itu dipilih karena memiliki kemiripan dengan nama Ibu Tien.
Masjid yang diresmikan pada 1999 kemudian tak pernah sepi pengunjung. Selalu ramai. Anggota Keluarga Cendana pun tak jarang menggelar hajatan besar di masjid At-Tin dari pernikahan hingga peringatan 1.000 hari wafatnya Soeharto.
“Sebelumnya, rangkaian acara yasinan dan tahlilan telah dilakukan di kediaman Jl. Cendana di Jakarta, di Dalem Kalitan di Solo, di Astana Giribangun di Karanganyar, Surakarta, dengan puncaknya di Masjid At-Tin yang dibangun Pak Harto setelah Ibu Tien wafat, di dekat TMII.”
“Di akhir acara, Mbak Tutut dan adik-adiknya serta cucu-cucu Pak Harto membagikan puluhan ribu Al Qur'an yang sangat istimewa. Selain desainnya yang dikerjakan secara khusus oleh tim dari Fakultas Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung (ITB), Al Quran itu ditulis dalam tiga bahasa yaitu bahasa dan tulisan Arab, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris,” tutup O.C. Kaligis dalam buku Pak Harto: Sisi-Sisi yang Terlupakan (2014).