Halaman Gedung Pakuan Dibom: Petanda Belanda Menyerah Kepada Jepang
Gedung Pakuan yang kini adalah kediaman resmi Gubernur Jawa Barat pernah dibom Jepang, yang menandai kekalahan Belanda. (Dok. Kemdikbudristek)

Bagikan:

JAKARTA - Kemunculan Jepang sebagai kekuatan besar di Asia tiada terduga. Kuasanya sempat diremehkan banyak pihak. Termasuk oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936–1942).

Jepang berhasil membuat kejutan. Nusantara dikuasai dalam hitungan bulan. Pusat kekuasaan Belanda di Batavia terutama. Tjarda pun memilih melarikan diri ke Bandung. Ia menjadikan Gedung Pakuan sebagai tempat persembunyian. Jepang tak tinggal diam. Bom dijatuhkan di halaman Gedung Pakuan.

Nyali Jepang dalam Perang Dunia II begitu besar. Mereka ditakuti oleh negera-negara Eropa. Apalagi, sehabis Jepang meluluh-lantakkan Pearl Harbor. Martabat Asia dalam Perang Dunia II pun terangkat. Mimpi baru segera disusun. Jepang ingin segera membebaskan negara-negara di Asia Tenggara yang masih terjajah. Bumi Nusantara, salah satunya.

Kehebatan Jepang sempat didengar oleh petinggi di Hindia-Belanda. Mereka lalu mewanti-wanti pimpinannya, Tjarda bahwa Jepang akan segera menguasai Nusantara. Peringatan itu tak didengar. Jepang memanfaatkan situasi. Kelengahan pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk menguasai satu demi satu kota di Nusantara.

Gedung Pakuan di masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Kalimantan lalu dipilih oleh Jepang sebagai pintu masuk. Perlahan-lahan Jepang mulai menguasai kota di pulau tersebut. Dari Tarakan, Balikpapan, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, hingga Palembang. Jepang tak lantas langsung berbesar hati. Serangan yang kuat ke kota lain di Hindia-Belanda terus dilalukan. Pulau Jawa jadi target berikutnya.

Pada 1 Maret 1942, Jepang mulai mendaratkan pasukannya di tiga tempat sekaligus. Banten, Indramayu, dan Bojonegoro. Empat hari kemudian, Jepang telah meguasai Batavia, kemudian Buitenzorg (Bogor). Empunya kuasanya pun segera melarikan diri ke Bandung, termasuk Tjarda.  Siasat itu dianggap dapat menahan laju perlawanan Jepang. Sekiranya sampai Pasukan Sekutu masuk ke Hindia-Belanda.   

 “Pasukan yang mendarat di Teluk Banten dipimpin langsung oleh panglima Tentara Ke-16, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Sebelunnya terjadi peristiwa yang agak mengganggu jalannya pendaratan. Dua kapal Sekutu, Houston dan Perth, yang berusaha melarikan diri dari Tanjung Priok menuju Australia, secara tidak disangka bertemu dengan kapal-kapal torpedo Jepang. Dalam peristiwa baku tembak, dua kapal Sekutu itu menembaki dan menenggelamkan kapal-kapal transpor lepang.”

“Salah satu di antara penumpangnya terdapat Letnan Jenderal Imamura, la menerjunkan diri ke dalam laut dan berhasil mendarat di pantai pesisir Teluk Banten. Setelah pendaratan itu, ibu kota Batavia (Jakarta) pada tanggal 5 Maret 1942 diumumkan sebagai "kota terbuka", vang berarti bahwa kota itu tidak akan dipertahankan oleh pihak Belanda. Segera setelah jatuhnya kota Batavia ke tangan mereka, tentara ekspedisi Jepang langsung bergerak ke selatan dan berhasil menduduki Buitenzorg (Bogor),” terang Nugroho Notosusanto dkk dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (2008).

Bom di Halaman Gedung Pakuan

Kepindahan Tjarda ke Bandung menandakan pula perpindahan pusat kekuasaan Belanda dari Batavia ke Kota Parijs van Java. Di Bandung, Tjarda memilih kediaman residen Priangan (kini: Gedung Pakuan) sebagai tempat mengungsi sekaligus menjalankan pemerintahan. Gedung itu tak mungkin terlacak, pikirnya.

Nyatanya siasat itu tak bertahan lama. Bangunan megah yang kini menjadi kediaman resmi Gubernur Jawa Barat itu agak mencolok untuk ukuran sebagai tempat pengungsian. Apalagi sebelumnya kediaman yang dibangun pada 1864 hingga 1867 itu telah menjadi lokasi kesohor. Tiap tamu kenegaraan yang datang disambut di Gedung Pakuan.

Raja Siam Chulalongkorn dan Perdana Menteri Prancis Georges Clemenceau pernah berkunjung ke Gedung Pakuan. Bahkan, komedian Charlie Chaplin yang datang ke Bumi Priangan pada 1927 ikut mendapatkan kesempatan melihat langsung kemegahan Gedung Pakuan.

Aroma kepopuleran Gedung Pakuan justru jadi senjata makan tuan bagi Belanda. Militer Jepang tak perlu repot-repot menggali keberadaan dari pemimpin tinggi Hindia-Belanda. Mereka langsung membombardir kota Bandung sekenanya dari udara.

Tentara Belanda menyerah kepada Jepang yang megakhiri penjajahan Belanda di Nusantara selama 350 tahun. (Wikimedia Commons)

Ajian itu membawa hasil. Banyak di antara serdadu Belanda yang mati karena jadi sasaran tembak. Pun salah satu bom udara mengenai halaman Gedung Pakuan. Bom itu jadi penanda awal Belanda akan menyerah kepada Belanda. Alih-alih bertahan, Tjarda justru kalang-kabut.

 Ia segera mengungsi ke tempat lain. Jepang pun tak tinggal diam. Ia mengancam akan melakukan pengebomam kembali dari udara ke seluruh wilayah Bandung, jika Belanda belum mau menyerah. Karenanya, Tjarda yang sudah kalah banyak –pasukan dan amunisi-- menyerahkan diri dan segera menyerahkan kekuasaannya di Hindia-Belanda ke Jepang lewat Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942.

“Bangunan dengan gaya Empire Stijl ini merupakan hasil rancangan Insinyur Kepala dari Departement van Burgeljke Openbare Werken (kini: semacam departemen pekerjaan umum) dibantu Bupati Bandung Ke-8 R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874) serta penduduk Babakan Bogor dan Balubur Hilir. Karena merupakan satu-satunya kediaman resmi paling megah, menjelang keruntuhan Hindia Belanda pada bulan Maret 1942, gedung ini sempat dijadikan tempat pengungsian Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dari Batavia.”

“Jumat pagi tanggal 6 Maret 1942, entah dari mana penerbang Jepang memperoleh informasi, Gubernur Jenderal yang baru saja semalam mengungsi dikejutkan ledakan dahsyat. Pagi itu, pesawat tempur Jepang menjatuhkan bom di halaman Gedung Pakuan yang dijadikan tempat perlindungan. Sang Gubernur Jenderal dengan tergesa-gesa pindah mengungsi ke Villa Mei Ling di Dr. de Grootweg (kini Jalan Siliwangi), milik pedagang beras Kan yang menjadi anggota Volksraad,” tutup Her Suganda dalam buku Wisata Parijs van Java (2011).