JAKARTA – Sejarah hari ini, 155 tahun yang lalu, 10 Juni 1867, Yogyakarta dilanda gempa maha dahsyat. Gempa itu berkekuatan 8.0 Skala Richter (SR). Getaran gempa yang bertahan selama 70 detik membuat Yogyakarta porak-poranda. Ribuan orang meninggal dunia dan puluhan ribu rumah rusak parah.
Tugu Golong Gilig (kini: Tugu Pal Putih) ikutan roboh. Apalagi gempa Yogyakarta turut disertai suara gemuruh bangunan bergerak. Segenap orang di Yogyakarta pun mengenalnya sebagai tahun bencana.
“Akrabnya” Nusantara dengan gempa bumi bukan rahasia umum. Nusantara telah rawan gempa bahkan sejak dulu kala. Catatan perjalanan pesohor dunia, seperti Letnan Gubernur Hindia-Belanda , Thomas Stamford Raffles (1811-1816) dan Naturalis Alfred Russel Wallace adalah beberapa di antaranya. Raffles banyak meneropong candi-candi Nusantara yang runtuh karena gempa.
Wallace pun punya pendapat sendiri. Ia menyebutkan dari banyak tempat yang ia pernah datangi, bumi Nusantara yang paling rawan gempa. Perihal itu diamati Wallace ketika melangkah ke Manado, Celebes (Sulawesi) pada 1858. Menurutnya gempa itu memunculkan dua hal: rasa takut dan geli.
Satu sisi, Alfred melihat gempa dapat menghabisi nyawa banyak orang. Sisi lain, kaum bumiputra setempat menganggap gempa seolah permainan yang mengharuskan mereka adu cepat keluar rumah. Namun, pandangan itu didapat Wallace hanya di Celebes saja.
Beda hal jikalau Wallace –tak jadi pulang ke Inggris-- lalu merasakan gempa di Yogyakarta pada 1867. Boleh jadi Wallace punya pendapat beda. Wallace akan mengungkap perihal gempa hanya merekam satu hal: ketakutan. Apalagi, kala gempa berkekuatan 8.0 SR melanda Yogyakarta. Deru tangis terdengar di mana-mana.
“Pada 1865, terjadi letusan Gunung Merapi selama beberapa minggu, mengeluarkan asap, abu, dan memberikan petanda akan terjadi sesuatu yang buruk di seluruh tanah Jawa. Dua tahun setelah itu, pertanda buruk itu terbukti: pada 10 Juni 1867, sebuah gempa bumi dahsyat melanda Yogyakarta dan menimbulkan kerusakan berat baik di kota maupun daerah sekitarnya. Ribuan orang kehilangan nyawa dan banyak rumah serta bangunan di kota hancur,” ungkap Werner Kraus dalam buku Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya (2018).
Gempa itu tak hanya membuat kaum bumiputra kalang kabut. Pemerintah kolonial Belanda pun ikut pusing dibuatnya. Banyak di antara bangunan orang Belanda yang hancur terkena imbas gempa. Lagi pula peristiwa itu memakan korban sampai ribuan orang.
Bangunan yang hancur pun mencapai puluhan ribu. Termasuk Tugu Golong Gilig. Bagunan ikonik itu roboh. Hancurnya bangunan itu jadi bukti bahwa Gempa Yogyakarta 1867 adalah salah satu gempa terbesar yang pernah melanda kawasan tersebut.
“Pembangunan tugu merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan Laut Selatan, Keraton Yogyakarta dan Gunung Merapi. Ketika bencana gempa bumi besar mengguncang Yogyakarta terjadi pada 10 Juni 1867, bangunan Tugu Golong Gilig runtuh. Bangunan tugu yang roboh, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII oleh Belanda dibangun kembali, bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing.”
“Ketinggian bangunan pun menjadi lebih rendah, yakni hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itulah, tugu ini disebut sebagai De White Paal atau Tugu Pal Putih. Perombakan bangunan Tugu saat itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja, namun melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, akhirnya upaya tersebut tidak berhasil,” tutup V. Wiranata Sujarweni dalam buku Menelusuri Jejak Mataram Islam di Yogyakarta (2017).