Gudang Timur Batavia: Bangunan Cagar Budaya di Jakarta yang Tak Terpelihara
Salah satu bagian dari Gudang Timur Batavia, salah satu bangungan bersejarah di Jakarta yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Gubernur Anies Baswedan namun tidak terawat. (Tangkapan Layar Youtube VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Penetapan Gudang Timur Batavia sebagai bangunan cagar budaya patut diapresiasi. Gubernur Anies Baswedan ada di baliknya. Kehadiran Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No. 1363 Tahun 2018 jadi buktinya.

Penetapan itu membawa serta sebuah harapan. Kondisi Gudang yang berada di Jalan Tongkol dapat dirawat layaknya warisan sejarah yang berharga. Nyatanya tak begitu, bangunan tetap dalam kondisi tak terawat, bahkan terancam hancur, lapuk dimakan usia dan inilah laporan kunjungan kami.

“Bahwa Gudang Timur merupakan bangunan gudang yang dibangun pada abad ke-18 yang mewakili gaya bangunan pertahanan pada masa pendudukan Belanda di Indonesia dan sebagai bukti dari kejayaan Kota Batavia sebagai sejarah pusat perdagangan pada abad ke-17  hingga abad ke-18 di Jakarta.”

“Bahwa sesuai rekomendasi penetapan Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tanggal 3 April 2018 Nomor 026/TACB/Tap/Jakut/IV/2018, yang menyatakan bahwa Gudang Timur layak untuk ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya,” ungkap SK Gubernur DKI dalam menjabarkan pertimbangan untuk menjadikan Gudang Timur sebagai bangunan cagar budaya pada 2018.

Ilustrasi kanal di Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Empat tahun berselang atau tepatnya 26 Mei 2022, Tim VOI Memori mencoba menyusuri Gudang Timur Batavia. Rasa senang melingkupi kami. Sebab, kami berkesempatan melihat kembali Gudang yang menjadi penanda kebesaran dan kejayaan Kota Batavia yang berjuluk Ratu dari Timur.

Alih-alih langsung menjelajah, kami lebih dulu meminta izin empunya kawasan. Kami berkunjung ke Bengkel Peralatan (Benglap) milik TNI Angkatan Darat (AD), Benglap Jaya/1-1 Tanjung Priok. Kepada petugas jaga, kami pun menyampaikan niatan kami untuk mengabadikan cerita Gudang Timur Batavia.

Mereka memberikan izin, bahkan bersedia jadi narasumber jika diperlukan. Namun, si petugas jaga membatasi, mereka tak setuju memberi izin andai kata tujuan dan maksud kedatangan hanya untuk mengulas alam gaib.

“Kalaupun ada penyataan terkait seputar Gudang Tua Batavia. Kami cukup menguasai, tapi kalau urusan yang gaib-gaib itu bukan spesialisasi kami. Kami juga tidak memberi izin untuk orang-orang yang mengambil konten berbau hal gaib,” ungkapnya.

Gudang Timur Batavia Kini

Tiada kata yang dapat mendeskripsikan perasaan kami melihat kembali Gudang Timur Batavia selain takjub dan miris. Takjub karena bangunan sampai hari ini masih berdiri. Miris karena bangunan  berlantai dua ini tampak tak terawat. Sekalipun bangunan yang memiliki denah persegi panjang dan beratap pelana masih menunjukkan bentuk aslinya.

Kondisi di sekitar Gudang Timur masih seperti dulu, tiada perubahan. Halaman Gudang Timur masih menjadi tempat parkir truk-truk besar. Pun halamannya digunakan pula sebagai “kuburan” dari mobil-mobil rongsokan dengan panorama ilalang yang mulai meninggi. 

Kesedihan kami makin bertambah ketika gudang mulai ditumbuhi pohon-pohon. Apalagi akar-akar daripada pohon mulai mencoba masuk seraya memakan tembok. Kami pun mendekat dari satu sisi bangunan ke sisi lainnya. Penetapan Gudang Timur sebagai bangunan cagar budaya nyatanya tak dapat berbicara banyak.

Keberlangsungan Gudang Timur seperti menanti waktu untuk runtuh alias roboh. Tiada sentuhan pemugaran yang kami temukan padahal Gudang Timur adalah warisan sejarah yang tak ternilai harganya. Gudang Timur seakan dianaktirikan.

Bangunan itu tak seperti bangunan lainnya di Oud Batavia (Batavia lama) yang mendapatkan perhatian lebih, dan terawat. Gudang Timur sendiri sebaliknya, jauh dari kata terawat. Oleh karena itu, rantai ketidakpedulian kepada warisan sejarah harus segera diputuskan. Itulah sebuah pesan sederhana kami kepada empunya kuasa.

Sejarah Panjang Gudang Timur

Eksistensi Gudang timur sendiri bermula dari hasrat maskapai dagang Belanda, VOC yang ingin menaklukkan Jayakarta. Mereka ingin mengubah Jayakarta menjadi sebuah negeri koloni. Kompeni dapat membuat sebuah kota tiruan seperti kota di Negeri Kincir Angin. Batavia, namanya.

Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali --1619-1623 dan 1627-1629-- Jan Pieterszoon Coen ambil peran. Ia yang dianggap sebagai peletak awal kolonialisme Belanda di Nusantara memilih melawan Jayakarta. Coen pun dapat menaklukkan Jayakarta pada 1619.

Pembangunan Kota Batavia dilakukan. Kompeni membuat Kota Batavia banyak dikeliling oleh terusan dan tembok. Serupa kota di Belanda, pikirnya.

 Coen tak lupa melengkapi pembangunan Batavia dengan mendirikan sebuah pusat pemerintahan berupa Kasteel Batavia yang dikelilingi Benteng dengan empat bastion (kubu pengintaian), yakni Parrel (barat laut), Saphier (timurlaut), Robijn (tenggara) dan Diamant (barat daya).

Gambar artis tentang kediaman Gubernur Jenderal Belanda di Batavia sekitar abad 18. (Wikimedia Commons)

“Hasrat untuk kemurnian --yang kadang-kadang mirip kesucian-- mendorong Coen atau siapa pun untuk menegakkan hidup yang eksklusif. Pada 1619 ia menghancurkan Jakarta (Jacatra). Dimusnahkannya dua bangunan yang jadi pusat kota adalah kabupaten dan masjid. Di atas puing-puingnya ia dirikan Kasteel Batavia yang segera jadi sebuah ruang isolasi.”

“Penduduk asli sudah meninggalkannya, orang Jawa dilarang tinggal, dan di sekitarnya hutan berisi binatang buas. Pada 1642 ada larangan bagi perempuan untuk ke luar gerbang Kasteel. Para budak belian tak boleh dijual pemiliknya kepada orang Yahudi, Islam, atau yang tak bertuhan,” terang Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul JPC (2016).

"Pembangunan Kasteel dan benteng itulah yang menjadi awal mula Batavia kesohor sebagai salah satu pusat perdagangan rempah dunia. Bersamaan dengan itu dibangun pula banyak gudang penyimpanan bahan makanan, Graanpakhuizen atau gudang-gudang gandum," ucap sejarawan Adolf Heuken, alias oostzijdsche pakhuizen atau Gudang Timur.