Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 323 tahun yang lalu, 5 Januari 1699, gempa bumi maha dahsyat melanda Batavia (kini: Jakarta) pada dini hari. Kekuatan gempa berkisar di angka 8-9 skala richter. Suatu kekuatan gempa yang tak main-main.

Korban jiwa berjatuhan dan ragam bangunan luluh lantak. Namun, dampak yang paling dahsyat dari gempa adalah sungai-sungai di Batavia jadi kotor dan tercemar. Sungai itu jadi sumber penyakit. Alhasil, angka kematian di Batavia mulai meninggi tiap tahunnya.

Gempa bumi kerap mewarnai tiap peradaban di Nusantara. Bahkan, semenjak dulu kala. Semua itu karena Nusantara dilalui oleh jalur gunung api aktif di dunia. Tiap orang di Nusantara pun telah terbiasa dengan gempa.

Tiada pilihan lain selain menghadapi gempa. Sebab, mereka hanya dihadapkan dengan dua pilihan: beradaptasi atau mati. Narasi itulah yang terlihat ketika gempa bumi maha dahsyat melanda Batavia pada 5 Januari 1699. Gempa itu meluluh lantakkan Batavia.

Lukisan suasana Batavia pada tahun 1780 dengan latar belakang gunung-gunung di Bogor. (Wikimedia Commons)

Maskapai dagang Belanda VOC pun tak dapat berbuat banyak. Apalagi gempa terjadi pada dini hari. Waktu-waktu di mana penduduk Batavia masih berada dalam tidur panjang. Satu-satunya yang membuat mereka tersadar adalah guncangan yang sangat kuat dan ragam perabotan rumah tangga berjatuhan.

Orang-orang pun dengan sigap –seperti lazimnya menghindari gempa bumi—berhamburan keluar rumah. Korban jiwa berjatuhan. Mereka yang luka-luka apalagi. Pun banyak di antaranya yang kehilangan rumah hingga pabrik. Karenannya, gempa bumi itu menjadi salah satu gempa besar yang pernah melanda Batavia sepanjang masa.

“5 Januari dini hari hujan lebat turun mengguyur Batavia. Namun, hujan berubah menjadi kepanikan karena tiba-tiba bumi berguncang dengan hebat. Guncangan terasa pada pukul 01.30 dini hari dan berlangsung selama sekitar 15 menit. Gempa bumi terasa tidak hanya di Batavia. Daerah lain seperti Banten dan pantai selatan Sumatera khususnya Lampung.”

“Guncangan gempa bumi membuat bangunan-bangunan yang ada di Batavia banyak yang retak. Menurut Arthur Wichmann, total ada 21 rumah, 20 lumbung padi, dan satu gudang yang rusak, serta 28 orang yang tewas akibat peristiwa itu. Selain membuat rumah-rumah rusak, gempa bumi juga membuat penduduk Batavia saat itu takut untuk kembali ke rumah. Mereka memilih untuk tinggal sementara di tempat terbuka dan di kapal-kapal yang mereka miliki,” ungkap Omar Mochtar dalam penelitiannya yang berjudul Gempa Bumi Batavia 1699 dan 1780: Memori Kolektif Kebencanaan (2021).

Lukisan Pelabuhan Batavia di bawah kekuasaan VOC pada 1754. (Wikimedia Commons)

Alih-alih hanya meninggalkan kerusakan, gempa bumi Batavia nyatanya membawa petaka lain. Gempa itu membuat kawasan di lereng Gunung Salak longsor. Akibatnya, material longsor yang membawa tanah dan lumpur terbawa hingga Batavia.

Sungai-sungai di Batavia jadi kotor dan keruh. Petaka pun datang. Wabah penyakit malaria dan kolera, namanya. Penyakit itu makin memperburuk hajat hidup warga Batavia. Puncaknya, mereka yang meninggal dunia karena wabah penyakit mencapai 1.000 hingga 2.000 orang tiap tahun.

“Ini dipercaya bahwa gempa bumi yang terjadi pada tahun 1699, telah menekan lumpur dari bawah tanah dan menghambat muara sungai lebih dari sebelumnya. Akibatnya, kehadiran lumpur yang memperkeruh sungai membawa petaka bagi lingkungan hidup di Batavia. Lingkungan Batavia menjadi tak sehat untuk ditinggali,” cerita Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda 1811-1816, Thomas Stamford Raffles dalam buku The History of Java (2014).