Kasus Malika: Tak Mudah Menghilangkan Trauma Korban Penculikan Anak
Kedua orangtua Malika Anastasya menangis haru dapat bertemu lagi dengan putrinya, yang sempat menjadi korban penculikan anak selama 26 hari. (Tangkapan layar YouTube)

Bagikan:

JAKARTA – Oni menangis haru ketika bertemu putrinya, Malika Anastasya (6) di Rumah Sakit Polri Kramat Jati pada 3 Januari 2023. Dia langsung menggendong dan terus mengusap kepala Malika. TL, sang ayah juga tak kuasa menahan air mata dan tampak beberapa kali mencium wajah putrinya. Malika adalah korban penculikan anak yang terjadi di Gunung Sahari, Jakarta Pusat pada 7 Desember 2022.

Oni dan TL bersyukur masih bisa melihat Malika kembali setelah menjadi korban penculikan pada 7 Desember 2022. Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat berhasil menemukan Malika di kawasan Ciledug, Tangerang pada 2 Januari 2023 malam.

"Saya ibu dari Malika mengucapkan terima kasih atas kerja keras polisi menemukan anak saya. Saya tidak bisa berkata apa-apa, saya hanya bisa mengatakan beribu-ribu terima kasih," ucap Oni seraya mencium anaknya dalam tayangan video yang beredar di media sosial pada 3 Januari.

Meski bahagia, dari hasil pemeriksaan tim psikiatri Rumah Sakit (RS) Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, peristiwa tersebut membuat Oni dan TL mengalami trauma dan harus mendapatkan pendampingan psikologis.

Begitupun untuk Malika, polisi intens memantau perkembangan psikisnya setelah 26 hari menjadi korban penculikan anak. Trauma, menurut Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Komarudin, jelas terjadi.

“Anak usia 6 tahun dibawa berpergian cukup lama jauh dari orangtuanya. Yang awalnya nyaman berada di lingkungan keluarga, selama beberapa hari harus hidup berpindah-pindah, tidur di sembarang tempat. Ini tentu cukup mendapatkan tekanan. Tim kesehatan termasuk juga psikiater sangat berperan untuk memulihkan," tuturnya kepada awak media pada 3 Januari lalu.

Ilustrasi – Pengalaman traumatis pada anak memiliki dampak yang lebih berbahaya dibanding orang dewasa, dan bisa mempengaruhi kepribadian anak dalam perkembangan selanjutnya. (Pixabay)

Reaksi Trauma

Setelah mengalami peristiwa traumatis, baik anak-anak atau dewasa akan menunjukkan gejala-gejala perilaku tertentu sebagai reaksi terhadap pengalaman traumatisnya.

Yang paling menonjol, kata Prof. Irwanto dan Hani Kumala dalam buku ‘Memahami Trauma: Dengan Perhatian Khusus pada Masa Kanak-Kanak’, adalah reaksi hyperarousal tubuh dan pikiran akan menjadi sangat waspada. Sehingga muncul reaksi panik dan ketakutan yang terus-menerus.

“Yang bersangkutan menjadi mudah tersinggung, sering menjadi sangat agresif. Keadaan yang sangat sensitif ini tidak hanya terjadi pada waktu yang bersangkutan sadar, tetapi juga pada saat tidur. Ia mudah sekali terkejut terhadap hal-hal (suara atau peristiwa) yang tidak terduga,” ucap Irwanto dan Hani.

Jika tidak diatasi akan berakibat buruk terhadap kesehatan dan hubungan sosial. Ingatan yang berulang terhadap pengalaman traumatis dapat berkembang menjadi depresi dan gejala-gejalanya.

Pada anak, dampaknya lebih berbahaya. Bisa mempengaruhi kepribadian anak dalam perkembangan selanjutnya. Anak-anak mempunyai kebutuhan dan kerentanan mengalami trauma psikologis satu setengah kali lebih besar daripada orang dewasa. Ini karena anak masih bergantung kepada orang lain dan belum memiliki kemampuan memecahkan berbagai persoalan.

“Jika pada orang dewasa pengalaman traumatis menyebabkan masalah-masalah emosional dan perilaku simtomatik, maka pada anak-anak perilaku yang terbentuk karena pengalaman traumatis dapat tertanam selama-lamanya dalam kepribadian anak,” tulis Irwanto dan Hani.

Jenis reaksi yang biasanya muncul pada anak usia 0-6 tahun, seperti:

  • Ketakutan terhadap kehadiran orang asing, suara keras/jika ditinggal sendiri.
  • Cemas perpisahan dan ketidakstabilan emosi.
  • Berbagai jenis permasalahan tidur.
  • Kecemasan yang menyolok mata atau tampak jelas jika berhadapan dengan situasi atau tempat yang berkaitan dengan peristiwa traumatis yang dialami.
  • Mengalami kemunduran pada berbagai keterampilan hidup yang sudah dikuasai anak, yang biasanya ceriwis menjadi pendiam atau bahkan tidak mau berbicara sama sekali, mengompol, atau kembali mengisap jempol.
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Komarudin. (Antara/Ulfa Jainita)

Lima Kata Kunci

Mengatasinya, orangtua atau keluarga harus terus mendampingi. Menurut Irwanto dan Hani dalam buku tersebut, ada lima kata kunci yang dapat dijadikan pegangan:

  1. Amati

Mengetahui dan mencoba memahami perubahan perubahan perilaku anak.

  1. Mendengarkan

Dengarkan kisah dan keluh kesah anak mengenai pengalaman traumatisnya. Perhatikan cara anak berpikir mengenai peristiwa tersebut dan pandangannya mengenai diri sendiri, apakah menyalahkan, menyerah, tidak dapat berbuat apa-apa, atau jawaban lainnya. Bila anak menganggap peristiwa traumatis sebagai kesalahpahaman atau gara-gara kenakalannya, pendamping harus bantu mengoreksi.

“Jika perlu bertanya, lakukanlah dengan cara menunjukkan perhatian dan kasih sayang. Jika anak menunjukkan gejala-gejala seperti tertekan, hentikanlah pertanyaan tersebut. Jika Anda juga mengalami peristiwa tersebut, sadari reaksi emosional Anda sendiri. Cari bantuan orang lain jika perlu,” terang Irwanto dan Hani.

  1. Membicarakan

Menagajak anak untuk berbicara mengenai pengalaman traumatisnya dalam suasana yang mendukung dan terpantau. Ikuti alur pembicaraan anak, jangan memaksakan kehendak sendiri. Jangan menghindari topik yang sedang dibicarakan anak.

  1. Mendukung

Membantu anak untuk lebih memperhatikan kekuatan dalam dirinya dan dukungan dalam lingkungannya. Bantulah ia dengan berbagai aktivitas yang akan mengurangi tekanan emosi. Ajaklah anak untuk berpikir mengenai strategi terbaik guna mempertahankan atau menimbulkan semangat yang positif.

  1. Perhatikan diri sendiri

Bagi orangtua/pendamping yang juga terlibat dalam trauma atau yang mungkin mengalami kelelahan batin dan fisik karena memberikan bantuan, harus mawas diri terhadap kondisi mental fisiknya sendiri.