Bagikan:

JAKARTA - Masih jelas teringat aksi masyarakat sipil menentang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja pada 2020. Elemen mahasiswa, buruh, dan pegiat lingkungan hidup di seluruh wilayah berulangkali berunjuk rasa meski dalam kondisi pandemi.

Mereka menganggap RUU tersebut terlalu memudahkan investor asing masuk ke Indonesia. Membahayakan aspek ekonomi politik, terutama di bidang ketenagakerjaan, tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Contoh terkait tata kelola SDA dan lingkungan hidup. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dijelaskan bahwa yang dapat berpartisipasi dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah: masyarakat yang terkena dampak; pemerhati lingkungan hidup; dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk putusan dalam proses AMDAL. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, penyusunan AMDAL hanya boleh dilakukan oleh masyarakat yang terdampak langsung saja. 

Begitupun yang terkait ketenagakerjaan. Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar S Cahyono menilai ada sejumlah pasal yang merugikan kaum buruh, “Antara lain menyangkut upah murah, karyawan kontrak, outsourching, dan nilai pesangon.”

Presiden Jokowi memberikan keterangan pers pada 29 November 2021 di Istana Merdeka. Pemerintah menghormati dan segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Cipta Kerja. (BPMI Setpres/Lukas)

Namun, resistensi tersebut tak menyurutkan langkah parlemen untuk tetap mengesahkannya. Pembahasan RUU dikebut dalam 64 kali rapat, dua kali rapat kerja, 56 kali rapat Panja, dan enam kali Rapat Timus/Timsin. Hingga akhirnya disahkan pada 5 Oktober 2020. Setidaknya hanya dalam waktu enam bulan setelah pembentukan Panja oleh Badan Legislatif DPR pada medio April 2020.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) berpendapat, “Dengan diketoknya UU Cipta Kerja, maka paket agar oligarki semakin berkuasa di Indonesia sudah lengkap.”

Presiden Jokowi kemudian resmi menjadikannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada 2 November 2020.

Pemerintah tetap meyakini keberadaan UU Cipta Kerja akan membawa manfaat besar bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Mendorong investasi, mempercepat transformasi ekonomi, menyelaraskan kebijakan pusat-daerah, memberi kemudahan berusaha, mengatasi masalah regulasi yang tumpang tindih, serta untuk menghilangkan ego sektoral.

“Jika masih ada ketidakpuasan terhadap UU Cipta Kerja, silakan ajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” kata Jokowi.

Ditangguhkan Mahkamah Konstitusi

Ternyata, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji formil yang diajukan oleh Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, dan Muchtar Said.

Dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada 25 November 2021, Majelis Hakim Konstitusi menegaskan UU Cipta Kerja cacat secara formil. Tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang.

Terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden. Serta, tidak memenuhi asas keterbukaan.

Fakta persidangan membuktikan, sekalipun telah dilaksanakan beberapa kali pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, pertemuan belum membahas naskah akademik dan materi perubahan UU Cipta Kerja. Sehingga, masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU Cipta Kerja.

“Terlebih lagi naskah akademik dan rancangan UU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal berdasarkan Pasal 96 ayat (4) UU 12/2011 akses terhadap undang-undang diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis,” kata Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum dilansir dari laman resmi MKRI.

Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman. (Antara/Hafidz Mubarak)

Alhasil, Hakim Konstitusi menyatakan Pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Maka, Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil,” tegas Suhartoyo.

Selain itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, Hakim Konstitusi juga menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat.

Pemerintah, kata Ketua MK Anwar Usman, harus menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

MK memberi waktu 2 tahun untuk perbaikan. Anwar menegaskan, “Apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.”

Pemerintah Terbitkan Perppu

Pemerintah tetap ngotot memberlakukan aturan tersebut. Pada 30 Desember 2022, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Ini, kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, sebagai upaya mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi global, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik.

Tak dapat dipungkiri, kondisi negara-negara dunia termasuk Indonesia tengah dalam ancaman saat ini. Menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi. Begitupun dari sisi geopolitik, semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim

Itulah mengapa, keberadaan Perppu sangat penting untuk dapat memberikan kepastian hukum, termasuk bagi pelaku usaha.

“Apalagi, tahun depan kita sudah mengatur budget defisit kurang dari 3 persen dan ini mengandalkan investasi. Jadi tahun depan target investasi kita Rp1.200 triliun,” ucap Airlangga dalam keterangan resminya pada 30 Desember 2022.

Terkait itu, menurut Airlangga, Presiden Jokowi juga sudah berkoordinasi dengan Ketua DPR RI Puan Maharani.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah), Menkopolhukam Mahfud Md (kiri), dan Wamen Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kanan) menyampaikan keterangan pers tentang penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, 30 Desember 2022. (Sekretariat Kabinet RI)

Secara konstitusional, Perppu merupakan produk hukum yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 22 UUD 1945. Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Perppu dengan tetap memperhatikan peran DPR.

Namun menurut Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani, penerbitan Perppu tersebut terbaca sebagai akal-akalan. Kian menegaskan pemerintah hanya menjadi pelayan kepentingan oligarki.

“Kritik mendasar yang disampaikan masyarakat pada proses pembentukan maupun substansi UU Cipta Kerja sebelumnya kembali terabaikan, mulai dari pelibatan dan partisipasi publik pada proses pembentukannya hingga beberapa substansi yang terkandung didalamnya sebagai diskursus publik. Itu sama sekali tidak ada dan kembali tak terjadi. Pemerintah secara sepihak langsung menerbitkan Perppu,” papar Kamhar kepada VOI, Senin (2/1).

Substansi yang menjadi sorotan antara lain pemangkasan kewenangan pemerintah daerah di berbagai sektor. Otonomi daerah yang menjadi salah satu amanah reformasi dilanggar dan kewenangan ditarik kembali ke pusat.

“Ini mencederai amanah reformasi. Atas nama investasi dan pembangunan ekonomi menghalalkan segala cara, ini menjadi ciri pemerintahan otoriter. Sekali lagi kami ingatkan Pak Jokowi jangan menjadi Malin Kundang reformasi,” imbuh Kamhar.

Presiden Jokowi menilai pro dan kontra dalam setiap keputusan yang diambil pemerintah merupakan hal yang wajar.

“Tapi semua bisa kita jelaskan," ucap Presiden Jokowi di wilayah Tanah Abang, Jakarta, Senin (2/1).