Bagikan:

JAKARTA – Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan masih menjadi ancaman serius tahun ini. Komnas Perempuan menyebut telah menerima 1.759 laporan kasus sepanjang periode Januari-November 2022. Sebanyak 860 kasus terjadi di ranah publik dan 899 kasus terjadi di ranah personal.

Sedangkan data real time Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan angka yang lebih besar, mencapai 11.355 kasus sepanjang Januari hingga 30 Desember 2022.

Mayoritas korban mengalami trauma berat, bahkan ada yang sampai melakukan percobaan bunuh diri. Tengok kisah N (15), siswi SMP di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Hidupnya hancur usai diperkosa ayah kandungnya, (BK). Peristiwa ini terjadi pada 24 Mei lalu di kediaman BK di Kecamatan Tarano.

Satu hari sebelumnya, BK meminta N membantunya memanen jagung. N yang ketika itu tinggal bersama ibunya pasca kedua orangtuanya cerai, datang bersama adiknya sekitar pukul 16.00 WITA.

BK kemudian meminta keduanya menginap. N menuruti keinginan ayahnya tanpa perasaan takut. Ketika tertidur, sekitar pukul 03.00 dini hari, BK membangunkan N dan memaksanya melakukan persetubuhan.

Meski sudah melakukan perlawanan, N akhirnya tak berdaya dan hanya bisa menangis. BK membekap mulutnya dan memperkosanya.

Ilustrasi - Berapa lama proses penyembuhan trauma akibat kekerasan seksual tidak bisa dipastikan. Kemungkinan besar akan lebih lama ketika pelakunya adalah orang-orang terdekat. (Antara)

Sekitar pukul 06.00 pagi, N mengajak adiknya segera pulang. Menurut Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Sumbawa Aipda Arifin Setioko, “Sampai di Jembatan Desa Gapit, Kecamatan Empang, N menepikan sepeda motornya, lalu turun ke arah pinggir jembatan.”

Dia hendak melompat, kemudian sang adik lari mencegahnya. Perbuatan itu pun urung dilakukan. Setibanya di rumah, N langsung memeluk ibunya dan menceritakan apa yang dialaminya.

Rasa trauma akibat kekerasan seksual juga dialami KAF (7). Sang ibu (PL) tak pernah menyangka perbuatan bejat itu dilakukan oleh kakaknya yang tak lain masih berstatus paman korban.

Peristiwa itu terungkap pada 11 Desember lalu. PL yang baru pulang ke rumah usai membeli makanan curiga melihat KAF tengah menangis usai mandi. PL semakin khawatir ketika melihat bercak darah di handuk dan kasur putrinya.

PL lantas membawanya ke bidan yang berlokasi dekat rumahnya di Desa Sukadami, Cikarang, Kabupaten Bekasi.

“Dari keterangan bidan, KAF mengalami mensturasi. Tapi saya tidak yakin. Keesokan harinya sambil saya suapin saya tanya pelan-pelan, De pernah gak punya kamu ada yang pegang, pertama anak itu gak mau ngomong. Saya bujuk, udah De kamu ngomong aja kamu gak usah takut,” ungkap PL kepada awak media.

Akhirnya terungkap. KAF ternyata telah dicabuli oleh pamannya.

Cara Mengatasi Trauma

Tidak hanya fisik, kekerasan seksual juga dapat menimbulkan penderitaan psikis dan dapat menghancurkan integritas hidup korban. Menurut Yulia Kristyanti, korban kekerasan seksual lazimnya akan mengalami beberapa gejala trauma, antara lain gejala pasca trauma seperti mimpi buruk, murung, cemas, bahkan hingga berujung depresi.

Sedangkan pada anak menyebabkan gangguan identitas disosiatif, atau kepribadian ganda. Mereka akan merasa terpisah dari dirinya secara fisik atau mental serta menganggap diri sebagai orang asing. Dalam taraf yang lebih parah, terkadang sering merasa pusing ketika mendengar banyak suara.

“Mengatasinya, harus didampingi melalui pola asuh yang baik dan lebih terintegrasi. Ada beberapa treatment yang bisa dilakukan. Satu di antaranya dengan model the tree-phase treatment,” kata Yulia dalam buku ‘Crisis Counseling: Solusi Alternatif Penanganan Korban Diskriminasi, Kekerasan, dan Pelecehan Seksual pada Anak dan Remaja’.

Model itu terdiri dari 3 tahap:

  1. Tahap Keamanan dan Menstabilkan Gejala

Tahap ini adalah upaya menciptakan suasana aman agar korban kekerasan seksual yang mengalami trauma (konseli) terhindar dari perilaku melukai diri sendiri. Konselor akan mengembangkan relasi dan memperlakukan konseli sebagai pribadi yang unik. Memasuki dunia mereka sehingga bisa lebih dekat dan membuat mereka nyaman.

Pihak yang memberikan konseling (konselor) tidak boleh memperlakukan konseli dalam hal ini anak-anak seperti orang dewasa atau meminta mereka untuk bertindak sebagai orang dewasa. Konselor perlu memahami perkembangan bahasa dan kognitif mereka.

Bila anak belum bisa mengungkapkan perasaannya, terapi bermain dapat digunakan untuk memahami trauma dan memberi media untuk berekspresi.

“Anak juga bisa diajak bermain peran. Dari sinilah anak akan terbantu memahami peristiwa traumatisnya dan bisa memperoleh cara menyesuaikan diri,” kata Yulia.

Ilustrasi - Tidak hanya fisik, kekerasan seksual juga dapat menimbulkan penderitaan psikis dan dapat menghancurkan integritas hidup korban. (Unsplash/Claudia Soraya)
  1. Tahap Memproses Ingatan Traumatis

Tahap ini disebut kegiatan inti. Konselor memegang peran penting dalam membantu anak mengatasi traumanya dengan cara: mengamati perubahan perilaku, mendengarkan cerita, mengajak berbicara mengenai pengalaman traumatisnya dalam suasana tepat, mendukung anak berpikir strategi terbaik untuk menumbuhkan semangat, dan mengajak anak lebih memperhatikan diri sendiri.

Dalam tahap memproses memori kekerasan seksual, konselor harus mampu mendorong konseli untuk membagikan detail memori kekerasan seksual dari awal hingga akhir. Sehingga tercipta narasi yang jelas. Langkah ini pun bisa membuat konseli lebih dalam memahami apa yang dialaminya dan coba memaafkan atau mengampuni dirinya.

Setelah itu, konselor memproses apa yang terjadi dan memutuskan apakah kegiatan tersebut bisa dilanjutkan ke tahap selanjutnya atau tidak.

“Konselor membantu konseli memproses emosi yang intens terkait dengan kekerasan seksual yang dialami. Emosi juga berasal dari dampak menghadapi peristiwa traumatis itu di masa lalu dan sekarang,” tutur Yulia.

Emosi yang bisa muncul dari diri korban kekerasan seksual bisa beragam. Di antaranya, mengalami penyangkalan, kemarahan, dan depresi. Bisa juga muncul rasa malu, kebencian terhadap diri, dan cenderung menyalahkan diri sendiri atas peristiwa yang dialaminya. Dalam beberapa kasus, kadang muncul rasa takut ditinggalkan, kecemasan berlebih, ketakutan, dan teror.

  1. Tahap Konsolidasi dan Resolusi

Konselor harus lebih meyakinkan konseli untuk menunjukkan hal-hal positif guna mengevaluasi apa yang terjadi. Sehingga, secara psikologis konseli akan mengalami proses untuk mengakhiri kebencian dan dendam. Mengampuni diri sendiri dan mencari rahmat Tuhan atas apa yang telah menimpanya.

“Pengampunan merupakan hasil dari proses penyembuhan bagi korban yang mencari kebutuhan spiritual dan psikologis,” tandas Yulia.

Kendati begitu, berapa lama proses penyembuhan trauma tidak bisa dipastikan. Kemungkinan besar akan lebih lama ketika pelakunya adalah orang-orang terdekat.

“Penyembuhannya tidak mudah. Sulit untuk benar-benar mengetahui kapan trauma akibat pelecehan seksual dapat sembuh secara sempurna. Korban yang sembuh dari trauma bukan berarti melupakan kejadian yang dialaminya,” kata psikolog dari Universitas Indonesia, Kasandra Putranto kepada VOI beberapa waktu lalu.