JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Kris Dayanti miris dengan kasus remaja berinisial AP yang menjadi korban pemerkosaan tiga anggota keluarga kandungnya sendiri. Ia mendorong agar korban mendapatkan trauma healing yang maksimal.
"Kejadian pilu yang menimpa remaja di Madiun menjadi luka bagi semua anak dan perempuan. Korban harus mendapat pendampingan trauma healing agar segera pulih,” kata Kris Dayanti di Jakarta, Selasa, 7 November.
Remaja perempuan berusia 17 tahun di Desa Kertobanyon, Kabupaten Madiun, Jawa Timur menjadi korban pemerkosaan ayah kandung, paman dan juga kakeknya. Selain itu, korban juga sering mendapat kekerasan fisik dari keluarga.
Ironisnya, korban juga pernah mengalami peristiwa pemerkosaan pada 2021 lalu. Pelaku pemerkosaan terhadap AP sebelumnya sudah mendapatkan putusan hukum dan menjalani masa tahanan.
Menurut KD, peristiwa memprihatinkan ini menjadi pengingat betapa besarnya fenomena kasus kekerasan seksual di Indonesia. Untuk itu, ia menekankan pentingnya penanganan kasus kekerasan seksual.
Apalagi Indonesia saat ini sudah memiliki UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menjamin perlindungan dan hak-hak korban.
Kris Dayanti mengatakan, penerapan UU TPKS dapat menjadi salah satu langkah upaya memutus rantai kekerasan seksual di Indonesia yang sudah seperti fenomena gunung es. Hal ini lantaran UU TPKS juga memuat aturan tentang pencegahan, termasuk upaya perlindungan dari masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual.
“Penyelesaian fenomena gunung es kasus kekerasan seksual memang harus dilakukan dari hulu ke hilir. UU TPKS sebagai hasil perjuangan banyak pihak harus dapat diimplementasikan secara efektif karena bisa mengatur hak-hak pemulihan psikologis serta restitusi dan kebutuhan lainnya dari korban," terang Kris Dayanti.
AP diketahui tinggal bersama ayah dan keluarganya lantaran sang ibu tak mengurusnya sejak kecil karena telah memiliki keluarga baru.
“Tentu saja peran Pemerintah juga dibutuhkan untuk mengkampanyekan ketahanan keluarga demi masa depan anak-anak,” sebut legislator Jatim ini.
Legislator dari Dapil Jawa Timur V ini pun meminta pemerintah lebih serius menangani korban kekerasan seksual. KD mendorong pemerintah untuk dapat memastikan adanya pendampingan bagi korban kekerasan seksual demi kesejahteraan mental mereka di masa depan.
"Ketidakamanan dan traumatis adalah perasaan umum yang dirasakan oleh anak-anak yang menjadi korban pemerkosaan. Mereka sering menghadapi stres, depresi, kecemasan, dan masalah psikologis lainnya yang dapat berlangsung sepanjang hidup jika tidak ditangani dengan baik," tuturnya.
Kris Dayanti menambahkan, Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam memberikan dukungan psikologis yang komprehensif kepada para korban kekerasan seksual melalui lembaga terkait. Hal ini sesuai dengan aturan pada UU TPKS.
Anggota Komisi Kesehatan DPR RI itu menegaskan, setiap korban pemerkosaan memerlukan pendampingan psikolog, konselor dan tenaga medis yang berpengalaman untuk memberikan perawatan baik dari sisi fisik maupun psikologis.
Pasalnya, menurut KD, kesehatan mental sangat penting bagi tumbuh kembang anak. Terutama bagi mereka yang mengalami peristiwa-peristiwa traumatis.
"Berikan pendampingan psikologis, terapi, dan konseling yang dibutuhkan untuk membantu anak-anak mengatasi trauma karena kekerasan seksual,” ungkap KD.
Bukan hanya itu, Pemerintah juga diingatkan untuk menjamin hak-hak anak. Salah satunya hak mendapatkan pendidikan. Korban AP diketahui tidak dapat meneruskan jenjang pendidikan karena sang ayah enggan menebus ijazahnya.
"Hak-hak anak juga perlu diberikan, apalagi soal pendidikan. Karena pendidikan adalah bekal mereka untuk kembali ke masyarakat setelah mengalami pemulihan trauma akibat serangkaian kekerasan fisik dan seksual," paparnya.
Di sisi lain, Kris Dayanti meminta semua stakeholder memberi perhatian pada kasus AP. Mengingat, kasus ini menambah panjang daftar peristiwa kekerasan seksual pada anak dan perempuan di Indonesia.
“Sudah banyak yang tahu tentang kasus ini, seharusnya lebih banyak sikap yang tegas dibangun oleh instansi maupun stakeholder terkait,” tegas KD.
Oleh karena itu, KD mengingatkan agar penanganan hukum dalam kasus pemerkosaan AP dapat diproses secepatnya. Diketahui, Polres Madiun masih belum memanggil terduga pelaku untuk menjalani pemeriksaan.
Laporan awal korban disebut tidak ditindaklanjuti dengan alasan kurangnya bukti. Padahal dalam UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disebutkan bahwa keterangan korban merupakan alat bukti utama.
"Dalam penanganan kasus TPKS, pihak berwajib harus memberikan keberpihakan kepada korban. Dan penegak hukum harus memproses laporan tindak pidana kekerasan seksual. Melibatkan para ahli juga penting untuk menjerat pelaku," ucap KD.
"Karena itu, aparat penegak hukum tidak perlu ragu untuk menggunakan UU TPKS sebagai acuan dalam mengusut tuntas kasus tersebut. Termasuk juga dengan UU Perlindungan Anak apabila korbannya masih di bawah umur,” tambah Anggota Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI tersebut.
BACA JUGA:
Menurut Pasal 4 ayat 2 UU TPKS, perkosaan atau persetubuhan terhadap anak-anak dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Untuk itu Polisi diingatkan untuk tidak mengabaikan laporan anak yang mengaku mengalami TPKS.
UU TPKS juga menutup ruang damai antara korban dengan pelaku kekerasan seksual. Jika terbukti memenuhi unsur pidana, maka pelaku kekerasan seksual harus dihukum secara maksimal.